Cinta, aku tak pernah mengharap kehadirannya, tapi aku juga tak kuasa untuk mengelaknya. Aku hanya bisa menjaga perasaan ini, menjaga cinta ini, untuk satu orang yang telah berhasil merobohkan benteng pertahanan hatiku. Cintaku padanya, bisa diibaratkan seputih awan, sebiru lautan, dan sebening mata air. Begitu tulus, begitu suci, dan begitu alami. Tak pernah aku mengharapkan cinta itu kembali menyapa, cukup melihat cinta itu tumbuh dengan sewajarnya dan menambatkan diri pada pilihan yang tepat, meskipun cinta tak pernah singgah sedikitpun di hati ini.
Aku mencintainya, walau musim telah berganti, walau putih tlah menjadi kelabu, dan walau dunia telah menjadi fana. Cintaku tetap bertahan pada satu hati, pada DIA yang teristimewa di hati. Aku bukan menanti datangnya cinta, aku hanya membiarkan cintaku tumbuh dan berkembang meski dia tak pernah tau bahwa ada cinta yang selalu menyertainya. Aku bahagia dengan cinta rahasia ini, dengan cinta yang hanya ku pendam sendiri.
###
Kini, aku tengah berdiri di hamparan padang ilalang, tempat rahasiaku, tempat mencurahkan segala isi hatiku. Hanya satu nama yang sebenarnya memenuhi hati dan pikiranku hingga terasa penuh sesak, nama yang selalu muncul di ingatanku tanpa bisa kulupakan barang sedetik pun. Nama yang satu tahun belakangan ini selalu menjadi ingatan terakhir sebelum aku terlelap, dan menjadi hal pertama yang kuingat saat aku terbangun.
“ARDIAAAAN !” suara itu selalu menggema di tengah keheningan padang ilalang. Saat kuteriakkan nama itu, rasanya beban yang selalu mengganjal di hatiku tlah hilang, tergantikan oleh ketenangan yang ditularkan oleh langit kepadaku. Saat aku merasa putus asa untuk menahan besarnya cinta ini, saat aku tak sanggup menanggung cinta ini terlalu lama, tempat inilah oase itu, tempat ini memberi ketenangan tersendiri untukku, memberiku kekuatan untuk terus menjaga cinta ini, hingga akhir kisahnya nanti.
“Tania, aku tau kamu pasti disini !” empunya suara itu adalah Radila, sahabatku. Hanya dia yang tau tempat rahasiaku ini.
“Ada apa ?” tanyaku heran dengan kehadirannya yang tiba-tiba.
“Ntar sore ada pertandingan basket, kamu nonton nggak ?” tanya Radil dengan senyum penuh arti.
“Haa ? serius nih ?” tanyaku heboh tak percaya.
“Yaiyalah, kamu sih ketinggalan info, padahal anak-anak udah pada heboh dari kemarin. Big match nih !” jawab Radila.
Seketika itu senyumku merekah, ini adalah kesempatan yang selalu aku kunantikan. Aku berlonjak-lonjak kegirangan. Radil menatapku dengan senyum itu, senyum yang selalu ia berikan saat cinta rahasia ini memberiku kebahagiaan. Hanya Radil yang tahu tentang cinta tanpa harap ini.
###
“PEMBANGUNAN….. PEMBANGUNAN,” teriakan-teriakan itu memenuhi lapangan basket indoor sekolahku, SMA Pembangunan Jaya. Suara yang bising, penonton yang berjubel memenuhi bangku, daan poster-poster sebagai dukungan dari sekolah masing-masing, telah membuat lapangan terasa penuh sesak.
“Tan, ke atas yuk, tuh disamping Gita ada tempat kosong !” ajak Radil sambil menunjukkan ke tempat Gita yang tengah melambaikan tangan. Radil segera menarik tanganku menaiki tangga menuju ke tempat Gita.
Kulayangkan pandangan ke sekeliling, mengamati para penonton yang sedang heboh. Di seberang tempatku duduk, tampak pendukung dari SMA CITRA BANGSA. Mereka sama hebohnya dengan sekolahku, berteriak semangat menyebut nama sekolah mereka sambil mengangkat poster yang mereka bawa.
“Tania,” panggil Radil sambil menyoel pundakku. Dia mengarahkan dagunya menuju tengah lapangan, menunjukkan sesuatu padaku.
Senyum itu kembali tersungging di wajahku. Dia yang menjadi alasanku datang kesini tengah berjalan memasuki lapangan diikuti dengan anggota tim yang lain. Tak pernah kusia-siakan kesempatan seperti ini, kuamati dengan seksama setiap hal kecil yang ia lakukan. Mungkin dia tak pernah menyadari ada seorang wanita yang begitu tergila-gila padanya. Bahkan wanita itu mengetahui hampir semua hal tentangnya. Ya, wanita gila itu adalah aku.
PRRIIIIIITTTTT……..
Peluit telah dibunyikan, dan pertandingan pun akan segera dimulai. Masing-masing kapten dari tiap tim bediri berhadapan di tengah lapangan. Itu dia, salah seorang yang sedang berdiri dengan gagahnya di tengah lapangan, dengan tatapan tajam yang mampu menghunus lawannya, dia Ardian, seseorang yang selalu hadir di setiap mimpiku. Aku selalu menyukai sat-saat seperti ini, saat dia menunjukkan tatapan dingin yang menusuk itu, dia semakin terlihat mempesona.
Lapangan semakin menggelora saat pertandingan dimulai, terdengar suara penonton riuh rendah. Pertandingan berjalan sangat sengit, skor masing-masing tim saling mengejar. Tiba-tiba lapangan menjadi hening ketika Ardian terjatuh di tengah lapangan, salah seorang tim lawan menjegal kakinya hingga ia tersungkur. Teriakan kemarahan para penonton dari Sma Pembangunan seketika membahana memenuhi lapangan. Aku sendiri, suaraku tercekat di tenggorokan melihat Ardian disana. Aku tak mampu berucap, aku ingin berlari ke tengah lapangan dan menolongnya, tapi itu mustahil.
Sepertinya cedera yang dialami Ardian cukup parah hingga ia harus dilarikan ke luar lapangan. Hal yang paling menyakitkan untuk seseorang adalah ketika ia begitu dekat dengan orang yang dicintainya, melihat orang itu kesakitan, namun tak bisa berbuat apa-apa untuk orang yang dicintainya itu. Yang bisa aku lakukan hanya berdo’a untuk kesembuhan Ardian.
Pertandingan tetap berlangsung meskipun tanpa Ardian, dan skor dari tim sekolah kami kian tertinggal jauh dari skor lawan. Tak heran karena selama pertandingan tadi, Ardianlah yang menyumbang paling banyak skor, selain itu mental para pemain juga down karena kehilangan sang kapten. Dan hasilnya, sekolah kami kalah dengan skor 45-58.
“Nggak mau liat Ardian dulu, Tan ?” tanya Radila saat kami berjalan meninggalkan lapangan.
“What for ?” aku balik bertanya mencoba menyembunyikan kecemasanku.
“Alah, pake pura-pura segala lagi. Aku tau kok kamu khawatir banget sama dia. Keliatan tau dari muka kamu,” kata Radila dengan senyum menggoda.
“Nggak ah, pulang aja yuk.” Aku tersenyum masam.
Ku coba menghalangi keiginanku untuk melihat kondisi Ardian di UKS. Kupercepat langkahku menuju tempat parkir dan mengeluarkan sepedaku, saat tiba-tiba aku mendengar sebuah nama disebut-sebut.
###
“Kasihan banget ya Ardian, kayaknya lukanya serius tuh !” kata seseorang pada temannya yang lain.
“Iya, sampe dibawa ke rumah sakit gitu.” Kata orang yang lain.
“Gimana ya kalo dia sampe dia nggak bisa main basket lagi ?”
“Wahh, bisa gawat kalo gitu. Kalian kan tau sendiri basket itu hidupnya.”
Napasku seketika berhenti mendengar pembicaraan itu, kakiku bergetar hebat, rasanya langit runtuh seketika itu juga. Saat aku mulai mendapatkan kesadaranku , aku segera memarkir sepedaku kembali dan berlari menuju UKS.
Sepi, tak ada seorangpun di ruang Uks. Lalu dimana Ardian ? percakapan itu kembali berputar diotakku, dan seingatku mereka bilang Ardian dibawa ke rumah sakit. Tapi aku tidak tahu dimana rumah sakit tempat Ardian dirawat itu. Aku sangat menyesal karena tidak mengikuti ajakan Radila tadi. Kini hatiku berkecamuk. Bagaimana kalau terjadi apa-apa dengan Ardian.
“Cari siapa Tan ?” seseorang menyentuh pundakku dari belakang, dan itu membuatku terkejut. Ternyata Fian, salah satu anggota tim basket.
“Emm, anu, emm, kamu tau dimana Ardi ?”tanyaku gugup.
“Ohh, dia dibawa ke rumah sakit Bakti Harapan.” Jawab Fian.
“Emang separah apa sampe dia harus dibawa ke rumah sakit ?” kekhawatiran semakin berkelebat di benakku.
“Aku kurang tau juga sih, tapi kata anak-anak tadi dia cukup parah,”
“Ini aku mau ke rumah sakit. Kamu mau bareng aku ?” lanjut Fian ketika tidak ada jawaban dariku.
“Em, tapi aku bawa sepeda.”
“Mending naik motorku aja biar cepet”
“Yaudah deh, tapi sepedaku gimana ?”
“Ntar aku antar lagi kesini deh,”
“Makasih ya.”
Fian memacu motornya dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit dan itu cukup membuatku takut. Tak sampai dua puluh menit kami sampai di rumah sakit, rasanya perutku mual mencium bau rumah sakit yang khas. Namun kutahan semuanya demi Ardi, semoga tidak terjadi apa-apa dengannya Tuhan.
###
“Dia ada di ruang UGD, Tan !” kata Fian .
Aku segera berlari, satu inginku saat ini, melihat kondisi Ardi baik-baik saja. Di depan UGD, aku melihat banyak teman-teman Ardi$2C wajah mereka menunjukkan kekhawatiran yang sama denganku. Kebanyakan dari mereka adalah anggota tim basket, beberapa teman sekelasnya, dan Pak Burhan, pembina basket.
“Bagaimana keadaan Ardi, Pak ?” tanyaku pada Pak Burhan.
Sontak semua yang ada disini melihat ke arahku, mungkin mereka heran dengan keberadaanku disini karena aku tidak terlalu akrab dengan Ardi, kelas kami juga berjauh-jauhan,dan dia hanya teman sekelasklu waktu di kelas X.
“Dia masih diperiksa dokter,” jawab Pak Burhan singkat, wajah beliau juga menunjukkan kekhawatiran.
Jujur aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan saat ini, aku tidak terlalu kenal dengan mereka semua. Bagaimana kalau mereka curiga bahwa aku memiliki perasaan khusus pada Ardi ? berbagai perasaan bercampur aduk dalam hatiku. Antara kekhawatiran tentang kondisi Ardi dan kekhawatiran terbongkarnya rahasiaku ini.
Akhirnya dokter keluar dari ruang UGD itu dan mengajak Pak Burhan ke ruangannya, entah apa yang akan mereka bicarakan. Yang jelas dua orang dari kami diijinkan untuk melihat kondisi Ardi secara bergantian, tentu akulah yang menjadi orang terakhir yang masuk ke ruangan itu.
Tatapan heran juga terlihat dari raut wajah Ardi ketika aku dan Fian memasuki ruangan. Tapi masa bodoh, harusnya dia bersyukur aku peduli padanya. Kondisi Ardi tidak separah yang aku bayangkan, dia sadar malah bisa tertawa, hanya kaki dan siku tangannya yang dibalut perban. Syukurlah, rasa khawatirku jauh berkurang dari sebelumnya. Sekarang justru jantungku berdebar tak karuan. Ini kali pertamanya aku berdiri begitu dekat dengannya dan melihatnya tersenyum padaku. Jangan sampai wajahku memerah seperti udang rebus.
“Kamu sakit Tan ? wajahmu kok merah gitu ?” sayangnya harapanku tidak terkabul, justru pertanyaan tak diduga itu terlontar dari mulut Ardi.
“Emm, anu anu, a..aku nggak pa-pa kok. Mungkin karena suhu disini yang lumayan panas,” jawabku kentara sekali canggung.
“Eh ? disini kan pake AC, Tan,” sahut Fian.
Aduh, alasanku benar-benar tidak masuk akal. Bagaimana ini ? rasanya aku sudah tidak punya wajah untuk melihat Ardi. Alhasil, aku hanya tersenyum menunjukkan sederetan gigiku. Aku sempat melihat Ardi tersenyum geli melihat kekonyolanku.
“Pulang yuk, Tan !” ajak Fian.
Aku pun mengangguk, memang ini yang aku tunggu-tunggu dari tadi. Aku tidak mau Ardi melihat kekonyolanku lagi. Saat keluar dari ruangan aku melihat Pak Burhan berbicara pada orangtua Ardi yang baru saja datang.
“Sepertinya Ardi harus segera dioperasi sebelum kondisi kakinya semakin parah,” kata-kata itu kontan membuatku tersentak. Melihat kondisi Ardi yang baik-baik saja, aku tidak menyangka jika bisa separah ini.
###
Aku tidak berani menjenguk Ardi lagi setelah kejadian memalukan itu. Mendengar berita dari teman-teman, kondisi Ardi sudak membaik pasca operasi. Benar-benar lega rasanya mendengar berita itu.
“Es jeruk dibungkus ya, Bu !“ kataku pada Bu kantin.
Betapa terkejutnya aku saat menoleh dan mendapati Ardi sedang duduk berdua dengan Dinar di salah satu bangku kantin, dan mereka terlihat mesra seperti sepasang kekasih. Rasanya isi perutku seperti diaduk-aduk, mual, pusing, jantungku berdebar begitu hebat. Aku segera berjalan dengan langkah gontai meninggalkan kantin, tanpa mempedulikan pesananku tadi. Yang penting air mataku tidak tumpah disini.
“Kamu kenapa Tan ?” tanya Radila saat aku memasuki kelas.
Aku hanya menggeleng, aku yakin kalau aku bicara pasti air mataku mengalir deras seketika itu juga. Sekuat tenaga aku menahan perasaan yang bergejolak dalam diriku ini, ku gigit bibir bagian bawahku hingga berdarah. Aku tahu Radila pasti memahaminya.
Aku pikir cintaku tak butuh balasan, tapi ternyata melihat dia mempunyai kekasih saja aku tak sanggup. Setelah perjuanganku, setelah penantianku selama ini, hanya kekecewaan yang aku dapat. Selama ini aku pikir tak sulit bagiku untuk menerima kenyataaan seandainya Ardi punya kekasih, tapi dulu aku tak berpikir bahwa rasanya sesakit ini.
Sekuat tenaga aku menahan air mata yang berdesakan ingin keluar dari mataku ini, aku tidak ingin menangisinya. Semalaman aku hanya berdiam diri si kamar, merenungi kejadisn hari ini. Aku ingin membuang perasaan ini jauh-jauh, aku tak ingin jatuh cinta bila rasanya seperih ini.
Tapi aku teringat akan keyakinanku dulu, aku akan membiarkan cinta ini tumbuh apa adanya. Mungkin ini langkah awal untuk menguji ketulusanku padanya. Aku harus bertahan, kuyakinkan hatiku bahwa suatu saat nanti Ardi akan melihatku yang tulus mencintainya. Penantianku tak akan sia-sia.
Keesokan harinya sekolah dihebohkan oleh berita Ardi dan Dinar yang benar jadian. Bahkan mereka selalu terlihat bersama. Dinar terlihat begitu sabar mendampingi Ardi yang harus berjalan terpincang-pincang dengan menggunakan tongkat penyangga. Aku berusaha menguatkan hatiku untuk melihat pemandangan yang akan terus kulihat sampai entah kapan ini.
“Yang sabar ya Tania, aku tau gimana perasaan kamu. Tapi tenang aja, aku akan selalu disini buat bantu kamu,” kata Radila menenangkanku.
“I will be fine, cintaku seputih awan Ra,” kataku padanya.
“I know, aku yakin kamu bisa nglewatin semua ini dan suatu saat nanti kebahagiaan akan datang padamu,”
Aku berusaha untuk tersenyum seperti biasa, tapi yang terlihat justru senyum palsu. Satu hal yang membuatku bersyukur, aku mempunyai sahabat sebaik Radila yang selalu ada untukku.
###
Dua minggu kemudian, aku dengar Ardi dan Dinar putus. Aku pikir Dinar perempuan baik yang akan selalu sabar mendampingi Ardi dengan keadaannya yang seperti sekarang, tapi ternyata aku salah. Ternyata Dinar hanya menjadikan Ardi bahan taruhan dengan gengnya yang popular itu. Hatiku jauh lebih sakit dari saat aku melihat Ardi dan Dinar bersama, setidaknya dulu aku bisa melihat Ardi selalu tersenyum.
Aku tidak bisa membayangkan betapa pedihnya luka yang Ardi rasakan. Mengetahui bahwa dia tidak bisa bermain basket lagi sudah cukup menyakitkan untuknya, apalagi ditambah kenyataan bahwa dia dijadikan bahan taruhan oleh geng tidak punya hati itu. Pasti ini sangat berat untuknya. Aku tidak pernah lagi melihat senyum Ardi, dan jujur aku sangat merindukannya.
“Ouch !!”
Aku melihat Ardi terjatuh dari tangga di koridor, entah kenapa tanpa sadar aku berlari untuk menolongnya.
“Makasih, Tan.” Kata Ardi tanpa ekspresi.
“sama-sama,” jawabku.
Saat ini aku tengah duduk berdua dengan Ardi di kursi koridor, menunggu jemputan masing-masing. Sepertinya keadaan ini sudah direncanakan oleh Tuhan, hanya aku dan Ardi di tempat ini, semua ini kebetulan yang tepat. Jantungku kembali bergejolak, bahkan melebihi sebelumnya. Sampai-sampai aku takut Ardi bisa mendengarnya.
“Tumben nggak bawa sepeda, Tan ?” tanya Ardi memecah keheningan.
“Emm, bannya lagi bocor.” Jawabku mencoba bersikap biasa.
“Oh,” dia bergumam pelan.
“Gimana keadaan kaki kamu ? udah baikan ?” tanyaku.
“Ya gini deh, udah mendingan tapi masih belum bisa jalan,”
“Oh, yang sabar aja, dilatih pelan-pelan ntar juga bisa lagi.”
Kami mulai mengobrol panjang lebar, mulai dari mengenang masa kelas satu kami, menggosip tentang Pak Beng –guru biologi yang paling ajaib-, sampai membicarakan masalah universitas dan fakultas yang akan kami ambil satu tahun lagi. Ternyata Ardi sangat menyenangkan, dia asyik diajak ngobrol, suka bercanda dan yang terpenting aku bisa lihat dia tertawa lagi. Hanya satu jam aku mengobrol berdua dengannya karena ayah keburu menjemputku.
Ih ayah ini ganggu aja, nggak tau anaknya lagi seneng apa, gerutuku dalam hati.
Hari ini benar-benar hari terindah sepanjang hidupku, benar-benar tak terlupakan. Aku harus segera memberitahu Radila berita bahagia ini.
“Halo, Radil.” Seruku begitu telpon diangkat.
“Eh, kamu kenapa Tan ? tumben seneng banget ?” jawab Radil heran.
“Aaaaargh, tadi siang aku ngobrol berdua sama Ardi,” terangku heboh.
“HAH ? KOK BISA ?” jawab Radil terdengar kaget.
“Aduh, biasa aja deh nggak usah heboh gitu. Haahaha, jadi tadi kan aku sama dia lagi nunggu jemputan terus ngobrol lama deh !”
“Iya deh, yang lagi seneng. Aku juga ikut seneng dengernya !”
“Haahaha, kamu emang paling tau aku. Yaudah ya, aku mau tidur dulu. Good night Radila !”
“Night too, Tania. Semoga mimpi Ardi ya !”
“Hahaaha, amiin. Bye !”
###
Setelah kejadian itu, hubunganku dengan Ardi semakin dekat. Dia juga sering mengirim pesan padaku. Aku tidak tahu dia mendapat nomorku dari mana, yang jelas hatiku berbunga-bunga saat pertama kali menerima pesan darinya.
Ini Tania ya ?
Begitu bunyi pesan pertama Ardi yang masih ku simpan di ponselku, dan di hatiku tentunya. Aku jadi lebih tahu banyak tentang dia, juga kebiasaan-kebiasaannya. Dan yang paling menyenangkan adalah ketika aku bertemu dengannya di kantin dan dia melemparkan senyumannya yang membuatku melayang.
Tan, besok bisa ketemuan nggak ?
Tak kalah mengejutkannya, Ardi mengajakku bertemu. Tanpa pikir panjang, kubalas pesan singkat darinya itu.
Dimana ? kapan ?
Sedetik kemudian dia kembali membalasnya.
Di koridor besok sepulang sekolah, bisa ?
Mendadak tubuhku lemas saking senangnya, bertemu dan mengobrol dengan Ardi, itu yang selalu aku tunggu-tunggu setelah obrolan pertama kami dulu.
Entah mengapa hari ini waktu terasa lama sekali, leherku sampai sakit karena sebentar-sebentar menoleh ke jam dinding di belakang kelas. Berulang kali aku mencoba konsentrsi, tapi hasilnya nihil. Selalu bayangan Ardi yang berkelebat dibenakku. Sepertinya Ardi benar-benar sudah membuatku gila.
TEEETTT TEEETTTT TEEETTTT …..
Akhirnya yang aku nantikan sedari tadi datang juga. Bel itu seperti malaikat yang menyelamatkanku dari ancaman mati kebosanan di kelas. Segera kurapikan buku-buku pelajaranku yang berserakan di meja.
“Mau kemana sih buru-buru amat ?” tanya Radila.
“Mau tau aja,” jawabku.
“Gitu ya sekarang, kalo lagi seneng temen dilupain,” lanjut Radila pura-pura marah.
“Besok aja ya, Radila sayang. Pasti aku certain deh, duluan ya. Bye” kataku sambil berlalu meninggalkan kelas.
Dalam perjalanan menuju koridor, kupelankan langkahku saat melewati kelas Ardi, berharap dia akan muncul dari balik pintu. Tapi ternyata sia-sia, mungkin dia sudah ada disana, pikirku. Kembali kupercepat langkahku. Ardi tidak ada di koridor, aku memutuskan untuk menunggunya. Menunggu, menunggu, dan menunggu, sampai aku ingin menyerah dan pergi dari sini. Tapi aku sudah bertahan sejauh ini, bahkan bertahun-tahun aku sudah menunggu, ku bulatkan tekadku untuk bersabar menunggunya. Satu per satu orang mulai beranjak meninggalkan koridor, hingga tinggal aku disini.
Tepat ketika aku akan menyerah dan beranjak dari tempat dudukku, Ardi datang menghampiriku. Beribu kata-kata sudah akan keluar dari mulutku tatkala Ardi memegang kedua tanganku. Kemarahanku seketika sirna digantikan oleh perasaan antara senang, berdebar-debar, dan malu. Sepertinya wajahku mulai memerah.
“Maaf udah buat kamu nunggu lama, aku harus mengambil sesuatu dulu tadi,” kata Ardi.
Tiba-tiba dia berlutut di hadapanku, dengan tetap memegang kedua tanganku. Padahal kakinya masih sakit, tapi dia tetap melakukannya. Ardi mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya.
“Tania, ti amo. Aku mencintaimu, maukah kamu jadi kekasihku ?”
Sepertinya ada beribu bintang di kepalaku, aku masih tidak mempercayai semua ini. Lidahku kelu tak mampu berucap, tubuhku lemas dan berkeringat dingin. Ini yang kutunggu-tunggu selama ini.
“Kalau kamu mau menerimaku, ambil kalung ini dan pakailah, tapi kalau tidak kamu buang saja,” lanjutnya, wajahnya terlihat menegang dan cemas menunggu jawaban dari.
Tanganku bergetar hebat ketika akan mengambil kalung dari tangan Ardi. Susah payah aku berusaha mengambilnya. Aku mengamati kalung perak dengan liontin berbentuk pemain basket yang sedang melakukan lay up itu sejenak. Setelah cukup lama berpikir, ku kembalikan kalung itu pada Ardi. Dan dia begitu tercengang menerimanya kembali.
“Pakaikan ini untukku,” kataku singkat.
Ardi tersenyum lebar mendengar perkataanku itu.
“Terimakasih Tania,” katanya sambil memasangkan kalung itu dileherku.
Inilah yang aku tunggu-tunggu, penantianku selama ini telah mencapai puncaknya. Cinta seputih awan itupun akhirnya berbalas, kebahagiaan itu datang jauh melebihi apa yang aku pikirkan selama ini. Dan akhirnya cinta dengan sayap lembutnya membawaku terbang hingga menembus awan.
Cinta Seputih Awan
Ijinkan Aku Bermimpi
“Key, kamu tau nggak, dulu bermimpi untuk sampai kesini saja aku tak berani. Tapi sekarang kita bisa berdiri disini. Ini luar biasa !” kataku pada Keyza, sembari mendongak menatap menara Eiffel yang menjulang dengan kokohnya.
“Inilah hasil dari jerih payahmu, Fi.” Jawab Keyza yang juga terlihat sedang mengagumi menara Eiffel.
Kupenjamkan mata dan kuhirup udara dalam-dalam. Jadi inikah aroma kesuksesan itu ? Saat kita telah berusaha sekuat tenaga dan berhasil menggenggam angan kita , beginilah rasanya. Indahnya luar biasa. Hanya air mata kebahagiaan yang bisa mengungkapkan betapa aku bersyukur atas semua pencapaian ini. Terimakasih Tuhan, Engkau telah membantuku melewati fase-fase tersulit dalam hidupku itu, Saat semua orang mencibirku, mengabaikanku, dan meninggalkanku,hanya Tuhan yang setia menemaniku.
Suasana menara Eiffel di musim panas yang penuh dengan pengunjung, memberikan kesan tersendiri untukku. Meskipun kami tak bisa naik ke puncak karena antrian yang sangat panjang, aku tak terlalu kecewa, karena masih banyak kesempatan untuk kemari lagi. Rumput hijau yang subur dan terpotong rapi seperti melambaikan tangannya padaku, memintaku untuk berbagi kebahagiaan yang tengah kurasakan. Duduk di atas rumput sembari menikmati indahnya menara Eiffel, sungguh menyenangkan. Aku merasa semua kepenatan hidupku telah menguap hingga tak tersisa. Ringan sekali.
Namun ketenanganku tidak berlangsung lama karena tiba-tiba kenangan lama itu muncul kembali…
***
“Oalah nduk, nduk. Kamu itu jangan mimpi, disesuikan saja dengan kenyataan yang ada”, kata bapak saat aku mengatakan tentang keinginanku untuk kuliah di Jakarta.
“Tapi aku juga ingin punya mimpi seperti teman-temanku yang lain, pak. Aku ingin kuliah biar jadi orang sukses,” yakinku pada Bapak.
“Biayanya lo nduk dari mana ?” Tanya bapak.
“Aku bisa cari beasiswa dan kuliah sambil kerja, Pak” yakinku lagi.
“Sudahlah berhenti bermimpi. Lihat itu tetangga-tetangga kita yang jadi sarjana, mereka sekarang kerjanya jadi apa ? Akhirnya jadi petani juga kan ! Lalu buat apa kuliah kalau hasilnya cuma jadi petani gitu ? Buang-buang uang saja. Mending kamu bantu bapak jaga toko saja, lebih jelas itu hasilnya !” terang Bapak.
“Nggak pak, aku mau merubah hidupku, aku mau jadi orang sukses. Aku mohon pak, ijinkan aku bermimpi, agar aku punya ambisi untuk mencapai mimpi itu,” kataku tidak terima dengan keputusan bapak.
“Udahlah pak, Fira itu terlalu idealistis. Ntar juga tau sendiri akibatnya, dia sendiri juga yang merasakannya nanti.” Timpal ibu dari dapur.
Malam itu rasanya semua anganku telah terhempas. Bermimpi untuk kuliah pun aku tak diijinkan. Bukankah hidup berawal dari mimpi ? lalu jika bermimpi saja aku tak boleh, untuk apa aku melanjutkan hidup ini ? Buat apa juga selama ini orangtuaku selalu menyekolahkanku ke sekolah favorit kalau hasilnya aku tak boleh kuliah ? aku tahu kondisi ekonomi keluargaku memang pas-pasan, tapi banyak kok alumni-alumni SMAku yang keluarganya jauh lebih tidak mampu dariku, tapi mereka bisa kuliah hingga jadi orang sukses dengan bermodalkan dukungan penuh dari orangtua. Setidaknya itu yang aku harap, Bapak dan Ibu mengijinkanku untuk bermimpi dan mengejar mimpi itu bagaimanapun caraku. Ini hidupku, masa depanku ada di tanganku, dan tidak ada seorangpun yang berhak merusaknya.
Saat itu ujian akhir nasional sudah dekat, tapi bahkan aku belum memutuskan mau kemana setelah lulus SMA nanti. Beruntung aku punya Keyza, sahabatku sejak SMP. Dia yang selalu memotivasi aku untuk memperjuangkan masa depanku. Dia menawariku untuk kuliah bersama di Jakarta dan tinggal di rumah Bibinya. Aku benar-benar dilema, apakah aku harus melawan orangtuaku demi memperjuangkan masa depanku ? hari-hari, minggu-minggu, dan bulan-bulan itu aku sungguh dirundung kegalauan, antara mimpi dan orang tua.
Akhirnya setelah kelulusan, aku memutuskan untuk ikut Keyza ke Jakarta. Saat aku mengatakannya pada Bapak dan Ibu, mereka sangat marah dan mengatakan aku anak durhaka. Tapi tekadku sudah bulat, aku akan menuntut ilmu di Jakarta dengan bekal uang tabunganku yang sangat minim.
Sampai di Jakarta aku mulai mencari pekerjaan dan tempat kost, sebelum tes masuk universitas dimulai. Aku tidak mungkin terus-menerus menumpang pada Bibi Keyza yang memang orang berada itu. Setelah tiga hari menginap di rumah Bibi Keyza, akupun mendapatkan tempat kost di dekat kampus yang aku menjadi tujuan utamaku itu, dengan uang tabunganku yang pas-pasan. Keyza sempat mencegahku, tapi aku tetap keukeuh pada pendirianku untuk tidak menyusahkan orang lain. Dan akhirnya aku mendapat pekerjaan sebagai kasir di sebuah supermarket di siang hari dan menjadi pelayan restaurant di malam hari. Aku juga menyempatkan diri untuk belajar disela-sela pekerjaanku. Dan yang pasti, tak ada henti-hentinya aku berdo’a pada Tuhan agar memberikanku kemudahan dalam perjuanganku ini.
Inilah fase terberat dalam delapan belas tahun hidupku. Aku baru merasakan jauh dari orang tua, susahnya mencari uang, dan hati yang dipenuhi kekhawatiran akan hidupku di hari esok. Bagaimana kalau akhirnya aku gagal masuk ke universitas yang aku inginkan itu ? dan aku kembali ke pangkuan orangtuaku tanpa hasil apapun, betapa malunya aku jika hal itu sampai terjadi. Penyesalan karena tidak mengikuti perintah orangtua terkadang menghampiriku. Tapi dengan segera kuhapuskan semua pikiran itu. Ini baru langkah awal untuk menggapai mimpiku, aku harus kuat sampai langkah akhir.
Akhirnya tes itupun datang juga, aku sempat pesimis karena aku tidak mengikuti bimbingan belajar seperti yang lain. Tapi Tuhan menjawab do’aku, sebuah mukjizat karena aku dapat lolos tes dan diterima di fakultas hukum universitas yang aku inginkan itu. Keyza juga diterima di universitas yang sama di fakultas ekonomi. Segera ku telpon orangtuaku yang ada di Semarang. Amarah mereka telah berganti dengan kekhawatiran yang mendalam, aku bilang pada mereka bahwa aku hidup tenang disini. Sengaja tak kuceritakan tentang perjuangan dan kerja kerasku, aku tidak mau membuat orangtuaku lebih khawatir, biar mereka fokus mengurus adikku yang sekarang baru masuk Smp. Aku pasti bisa mengurus hidupku sendiri. Aku harus mandiri, itu yang selalu kutekankan pada diriku.
Beban dihatiku sedikit berkurang setelah aku lolos test itu, tapi kekhawatiran lain muncul. Bagaimana aku membayar biaya kuliah ? untuk membiayai hidup sehari-hari saja aku masih kelimpungan, gajiku juga tidak cukup untuk biaya masuk kuliah. Dan lagi-lagi, Keyza menjadi malaikat penolongku, dia mencarikan beasiswa untukku, tinggal aku mengikuti test. Tuhan benar-benar menolongku, Dia mengijikan aku menerima beasiswa itu dan akupun bebas dari biaya kuliah sampai semester satu selesai.
Aku benar-benar berusaha keras, pikiranku hanya focus pada kuliah dan pekerjaanku. Aku benar-benar berambisi untuk lulus sesegera mungkin. Kuliah sambil kerja sangatlah tidak mudah, apalagi aku juga tidak punya sarana yang cukup untuk menyelesaikan tugas kuliah. Setiap hari aku harus ke warnet, dan untuk itu aku harus mengurangi jatah makanku menjadi makan sekali sehari. Namun akhirnya, dalam kurun waktu 2,5 tahun aku berhasil menyelesaikan S1. Bahkan aku mendapat tawaran beasiswa S2 ke Pais, Prancis. Aku bebas dari biaya kuliah, mendapat asrama, bahkan mendapat dana untuk ke Paris ditambah dengan pesangonnya. Benar-benar hal yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.
Sebelum memutuskan untuk menerima beasiswa itu atau tidak, aku ingin pulang ke Semarang terlebih dahulu. Selama 2,5 tahun aku hanya berhubungan dengan orangtua dan adikku melalui telpon saja. Aku tidak punya cukup biaya untuk pulang selama liburan, alhasil aku menambah pekerjaanku disaat teman-teman yang lain bisa berkumpul dengan keluarganya di kampung halaman. Dengan pekerjaan itu, lumayan aku bisa sedikit menabung untuk pulang ke Semarang.
Bapak, Ibu, dan Surya, adikku, menyambut kedatanganku di terminal. Rasa rinduku sudah memuncak, kupeluk mereka erat-erat. Bapak dan Ibu sangat bangga dengan pencapaianku. Mereka juga meminta maaf atas kesalahannya dulu yang tidak mengijinkanku bermimpi, dan tidak dapat hadir dalam wisudaku karena kondisi ekonomi yang sedang memburuk. Aku juga meminta saran pada Bapak dan Ibu tentang beasiswa ke Paris itu, dan mereka begitu bahagia mendengarnya, bahkan Ibu sampai menangis memelukku. Mereka menyuruhku untuk segera menerima beasiswa itu. Sungguh bahagia rasanya bisa melihat Bapak dan Ibu tersenyum bangga padaku.
“Tapi Pak, Bu, Paris itu tidak seperti Jakarta, itu saaaangaaat jaauuhh. Bagaimana dengan Bapak dan Ibu disini ?” kataku yang ragu untuk meninggalkan orangtuaku.
“Kami disini akan baik-baik saja, Bapak juga masih mampu membiayai adikmu. Kamu sudah berhasil melewati cobaan pertamamu, jangan puas dan berhenti disini, kamu harus berjuang lagi untuk kesuksesan yang lebih besar.” Kata-kata Bapak sungguh membuatku terharu hingga meneteskan air mata,
Dan disinilah aku sekarang, di Paris. Aku melanjutkan S2 di Sourbonn University. Inilah hasil dari mimpi, kerja keras, dan do’aku. Benar jika ada yang berkata “Jangan biarkan logika membatasi mimpimu”. Buktinya sekarang, aku yang dulu tidak diijinkan bermimpi tapi tetap memberanikan diri untuk punya mimpi besar, sekarang menjadi sesuatu yang tidak pernah terbayangkan oleh semua orang sebelumnya. Dan kini saatnya aku kembali berjuang untuk pencapaian yang lebih besar.
***
“Woii, ngelamun aja. Kembali ke asramamu yuk !” ajak Keyza mmembuyarkan lamunanku.
“Oke, tapi bantu aku beresin barang-barang ya !” jawabku sambil tersenyum jail.
Keyza pura-pura merengut. Kami pun berjalan menuju halte bus terdekat. Tak lama kami menunggu, bus itu datang juga. Aku menikmati setiap panorama yang nampak di mataku. Kota ini akan menjadi saksi perjuangan hidupku selanjutnya. Aku berusaha untuk mengenali setiap bagian dari kota ini.
Asrama berlantai tiga yang berdiri kokoh di lahan yang cukup luas itulah asramaku. Di depannya terdapat taman bunga nan elok dengan air mancur di tengahnya. Ada juga deretan kursi yang tertata rapi di pinggir taman. Semua penghuni asrama ini adalah mahasiswi dari Sourbonn University, mereka ramah dan menyenangkan, terbukti saat pertama kali aku menginjakkan kaki sini, mereka menyambutku dengan hangat. Mereka pasti akan menjadi keluarga baikku disini.
“Wahh, view dari kamar kamu bagus banget Fi. Pasti kamu bakal betah deh tinggal disini,” kata Keyza dari balkon. Aku bahkan belum melihat-lihat secara detail kamarku ini karena sibuk merapikan barang-barang dalam lemari.
“Iya, bagus banget. Semoga aja ya, tapi aku pasti bakal kangen banget sama kamu Key. Kamu tinggal yang lama aja ya disini !” kataku menghampiri Keyza. Benar juga, kamarku yang terletak di lantai dua ini memang strategis sekali.
“Pengennya sih gitu, tapi kamu tau sendiri kan kuliahku di Indonesia belum kelar-kelar. Tapi tenang aja, liburanku seminggu disini harus kita manfaatkan sebaik-baiknya. Kita akan pergi ke tempat-tempat menarik disini. Oke ?” Jawab Keyza dengan ceria.
We must have a dream. Faith in our dreams, and someday, our rainbow will come smilling through.
Sahabat dalam Angan
Seseorang pernah berkata padaku, Tuhan menciptakan segala sesuatu pasti ada tujuannya, dan Tuhan menciptakan aku disini untuk membuatmu yakin bahwa sahabat sejati itu ada, bukan sekedar dalam anganmu saja. Kalimat sederhana itu masih terngiang jelas di benakku, bahkan telah kuukir di hatiku. Awalnya aku tidak bisa terima kepergiannya, aku marah padanya yang seenaknya saja datang dan pergi dari kehidupanku, aku marah pada diriku sendiri yang begitu saja membuka hati untuknya, dan aku marah pada Tuhan yang telah mengirim dia padaku. Kenapa aku harus mengenalnya jika pada akhirnya aku harus kehilangan dia ? Hanya kalimat sederhana itu yang mampu membuka logika dan mata hatiku, bahwa aku harus merelakan dia, bahwa Tuhan mengambilnya karena tugasnya sudah selesai. Dia telah meyakinkanku bahwa sahabat itu benar-benar ada, dia telah mengajariku bahwa aku bukan orang yang paling menyedihkan di dunia ini, tapi aku adalah orang paling beruntung karena pernah mengenal dan bersahabat dengannya.
***
3 tahun lalu…
Saat itu aku yang masih kelas satu sma, aku sedang menangis di lorong kecil dekat perpustaan sekolah, aku tidak sadar bahwa ada seseorang yang telah mengamatiku sedari tadi. Dia menghampiriku dan memberikan sapu tangannya. Aku tidak berani menatap wajahnya, aku hanya mengamati tangannya yang menyerahkan sapu tangan. Tangan itu terlihat seperti tangan malaikat di mataku.Baru kali ini ada seseorang yang peduli padaku. Selama ini, hampir setiap hari aku bersedih dan menangis, tapi tak pernah sekalipun ada yang peduli kepadaku. Dan saat ini, seorang malaikat tengah berdiri memberikan sapu tangannya padaku.
Aku memberanikan diri mendongakkan kepala untuk melihat wajahnya. Dia benar-benar malaikat tampan yang dikirim Tuhan untukku. Dia tersenyum ramah padaku, senyum menular yang membuat orang lain ikut tersenyum. Tapi egoku mengingatkanku, Dia orang baru, kamu bahkan belum mengenalnya. Jangan telalu mudah baik padanya. Orang yang sudah lama kamu kenal saja selalu menyakitimu, apalagi dia, orang baru itu. Jangan tertipu oleh senyum palsunya itu !
Aku berlari meninggalkannya, hatiku masih belum bisa percaya akan kebaikan orang lain. Selama ini aku selalu sendiri, aku tidak percaya pada orang lain. Bagiku, kesedihanku cukup aku saja yang tau, tak pernah aku biarkan orang lain mencampuri urusanku. Keesokan harinya aku kembali menangis di tempat itu, dia kembali datang, lalu aku pun pergi meninggalkannya. Begitu seterusnya hingga seminggu berlalu. Akhirnya, aku menyerah dan meberanikan diri untuk mengenal orang itu.
Malaikat itu bernama Daniel Wira Atmadja, dia anak baru pindahan dari Jakarta, pantas saja aku tidak pernah melihat dia sebelumnya. Dia. Awal percakapan kami itu diisi dengan obrolan-obrolan ringan seputar sekolah kami. Dia juga bercerita tentang rasa penasarannya padaku saat pertama kali ia masuk sekolah dan melihat aku menangis di lorong. Tiga hari setelah itu baru ia berani menghampiriku untuk memberikan sapu tangan. Aku belum berani bercerita tentang alasanku menangis, tentang kehidupanku selama ini.
Berminggu-minggu kami bersama, aku mulai mengenalnya. Dia selalu menemaniku menangis, dia hanya diam berdiri di , menunngu sampai aku berhenti menangis. “Menangislah hanya jika aku ada di sampingmu”, begitu katanya setiap kali aku selesai menangis. Kemudian kami pulang bersama, dia memboncengku dan mengantarkan aku pulang sampai depan rumah. Jarak rumah kami tidak terlalu jauh, jadi setiap hari kami berangkat dan pulang sekolah bersama, dan semenjak aku mengenalnya, intensitas menangisku jadi berkurang.
Hari itu sepulang sekolah, saat kami sedang bermain ayunan di tama, tiba-tiba dia bertanya padaku, “apakah kamu sudah mau berbagi kesedihanmu padaku ? aku tak sanggup melihatmu terus memendam kesedihanmu sendiri”. Aku rasa, ini saatnya aku membuka hatiku pada orang lain, aku harus mulai percaya pada orang lain. Aku tidak bisa terus-menerus terpuruk dalam kesedihanku sendiri. Akhirnya aku mengangguk pelan. Saat aku mulai membuka mulut untuk berbicara, dia malah menghentikanku dan berkata, “Sebentar, tunggu disini dulu. Aku akan pergi sebentar !” dia meletakkan kamera CRL yang selalu menggantung di lehernya dan segera berlari menuju entah kemana. Aku benar-benar bingung, dia yang menyuruhku bercerita, tapi dia juga yang meninggalkanku. Namun aku memutuskan untuk menunggunya.
Tak lama kemudian dia datang dengan wajah bersimbah peluh, bajunya basah oleh keringat, dengan napas tersengal-sengal dia berkata padaku “Ini untukmu, ceritalah sambil makan es krim ini, supaya kesedihanmu berkurang !” katanya sambil menyerahkan es krim cornello rasa cokelat kesukaanku. “Terimakasih”, jawabku sambil tersenyum simpul, masih bingung dengan apa yang barusan dilakukannya. Makhluk macam apa dia itu ? Kenapa dia begitu baik padaku ? Aku baru mengenalnya dua minggu, tapi rasanya aku sudah mengenalnya bertahun-tahun. Hatiku semakin yakin, bahwa dia adalah makhluk bernama sahabat itu.
Aku mulai bercerita tentang orangtuaku yang setiap hari selalu bertengkar tak ada habisnya, tentang Kakak laki-lakiku yang pergi dari rumah karena tak tahan dengan kelakuan orangtua kami. Betapa tersiksanya tinggal di rumah yang seperti neraka itu. Aku juga bercerita tentang sahabat kecilku yang pergi tiba-tiba 3 tahun yang lalu, saat aku terpuruk dengan kehidupan keluargaku. Aku butuh teman untuk berbagi cerita, teman untukku bersandar, tapi tak pernah ada orang di sisiku. Aku selalu sendiri dan aku tidak pernah lagi percaya pada sahabat. Selama tiga tahun ini, aku memendam semua penderitaanku sendiri.
Daniel menyimak ceritaku dengan penuh perhatian, sesekali dia mengangguk dan bergumam*mengerti. Dengan sabar dia mendengarkan aku sampai selesai bicara. “Kamu tau, ada dua hal yang membuatku menangis. Yang pertama karena aku mengasihani diriku, dan yang kedua karena aku takut kehilangan orang-orang yang aku sayangi”, kataku di akhir cerita. Hebatnya aku tidak meneteskan air mata sedikitpun, padahal selama ini, mengingatnya saja aku sudah menangis. Ini semua berkat es krim yang diberikan Daniel, dia selalu tahu apa yang aku butuhkan.
“Cobalah kamu membuka mata hatimu, lihat sekelilingmu, masih banyak di luar sana orang yang hidupnya jauh lebih menderita darimu. Jadi jangan pernah mengasihani dirimu yang sebenarnya termasuk orang yang beruntung. Dan berbahagialah orangtuamu masih bisa bertengkar, karena terkadang pertengkaran itu adalah tanda bahwa mereka masih peduli dan saling mencintai ! Kamu juga jangan takut mereka yang kamu sayangi pergi, mereka masih ada di dunia ini, tunjukkan kasih sayangmu pada mereka agar mereka tau betapa kamu sangat menyayangi mereka !” nasehat Daniel padaku.
Aku mulai mencerna perkataan Daniel, benar katanya, selama ini aku terlalu menutup diri dan sibuk mengasihani diriku sendiri. “Benar katamu. Aku akan berubah, aku akan bangkit dari keterpurukanku ! Aku bukan lagi Nathaya yang lemah!” kataku dengan keyakinan penuh. Daniel tersenyum sambil mengacak-acak rambutku yang tertata rapi. Aku mencibir dan pura-pura sebal. “Tha, kamu tau nggak kenapa Tuhan menciptakan aku ?” pertanyaan itu sungguh aneh. Aku mengerutkan dahi dan menggeleng.
“Tuhan menciptakan segala sesuatu pasti ada tujuannya, dan Tuhan menciptakan aku disini untuk membuatmu yakin bahwa sahabat sejati itu ada, bukan sekedar dalam anganmu saja
“, aku seperti melambung mendengarnya. Kalimat itu lebih terdengar seperti sebuah janji untukku. Tuhan memang adil, saat aku kehilangan sahabat kecilku, Dia menggantikannya dengan sahabat baru yang jauh lebih baik. Seulas senyum tersungging dari bibirku.
Aku menoleh pada Daniel yang sedang mengutak-atik kameranya. Aku baru menyadari kalau kamera itu selalu tergantung di leher Daniel.
“Kenapa kamu selalu membawa kamera kemana-mana ?”tanyaku penasaran.
“Karena waktu itu tidak dapat diulang kembali, aku tidak mau melupakan momen sekecil apapun dalam hidupku. Setiap peristiwa dalam hidupku terlalu indah untuk dilupakan, sekecil apapun itu.” Jelas Daniel dengan senyum yang menghanyutkan.
“Boleh aku lihat ?” pintaku.
“Jangan dulu deh, suatu hari ini pasti aku akan menunjukkannya padamu.” Jawab Daniel yang membuatku kecewa.
“Bagaimana kalau kita berfoto bersama ?” ajak Daniel sambil menarik tanganku membantuku berdiri. Kami berfoto dengan berbagai pose, mulai dari yang tanpa ekspresi sampai yang alay.
Semenjak hari itu, hidupku berubah. Aku yang sekarang bukan Nathaya Abella yang selalu murung seperti dulu. Daniel telah membuat hidupku penuh warna. Semakin hari kami semakin tak terpisahkan.
***
Aku beranjak dari tempat dudukku, menuju meja belajar. Kubuka laci meja belajar, ada sebuah benda yang sangat berharga untukku, sebuah album foto dari seseorang yang pernah hadir dalam hidupku. Aku masih ragu untuk membuka kenangan lama itu kembali. Akhirnya memutuskan untuk membukanya di balkon saja.
“Paper kamu udah selesai Tha ?” Tanya Kinar, teman kuliahku, saat aku melewatinya dan teman-teman kost yang lain di ruang bersama.
“Udah kok, Nar,” jawabku dengan tersenyum simpul. Dan melanjutkan langkahku menuju balkon.
Kubuka album itu perlahan. Ini kali kedua aku membukanya setelah dua tahun lalu Mbak Ririn, saudara Daniel, memberikannya padaku. Halaman demi halaman kubuka, kuamati satu demi satu foto yang ada. Album itu penuh dengan foto diriku dengan berbagai ekspresi, beberapa juga ada fotoku bersama Daniel, teman-teman, dan keluargaku. Hampir sebagian besar foto di album itu, aku tidak mengetahui kapan saat pengambilan gambarnya. Yang unik, di setiap bagian bawah foto selalu ada tulisan tangan Daniel.
Diantara foto-foto itu, ada beberapa foto yang sangat berkesan untukku, diantaranya gambarku yang sedang menangis di lorong sekolah, itu saat pertama kalinya Daniel melihatku. Di bawah foto itu ada tertulias sebuah kalimat, “Pertama kali aku melihatnya, aku seperti melihat diriku sendiri”. Kemudian ada fotoku yang sedang tertawa lebar saat bermain di taman bersama Daniel, dibawahnya bertuliskan Hal yang paling membuatku bahagia adalah semua hal yang membuat Thaya tersenyum bahagia”. Ada juga fotoku yang sedang menangis setelah pemakaman Mas Bian, kakak kandungku yang meninggal akibat overdosis, “Hal yang paling aku benci di dunia ini adalah semua hal yang membuat Thaya menangis” begitu yang tertulis di bawahnya. Saat aku melihat halaman berisikan foto-foto ulang tahunku ke 17, pikiranku kembali melayang ke dua tahun silam.
***
Malam itu saat aku baru pulang dari rumah seorang temanku, aku heran melihat kondisi rumah yang gelap gulita. Aku sudah berpikiran macam-macam, aku berpikir kalau mama dan papa pergi dari rumah. Hatiku tak tenang, apalagi Mas Bian baru saja meninggal. Aku membuka pintu dengan hati berdebar-debar tak karuan.
“SURPRISEE !!!” aku kaget sekali, begitu banyak orang di rumah. Ada teman-teman sekelasku, dan yang special, papa merangkul pundak mama yang sedang memegang kue ulang tahun. Dan surprise party itu tak akan terlupakan seumur hidupku, mama dan papa yang kembali bersatu. Ternyata semua itu dipersiapkan oleh Daniel, entah apa yang dia lakukan sampai mama dan papa bisa rukun lagi hingga saat ini. Daniel ohh Daniel, dia benar-benar malaikatku. Sayang sekali Mas Bian pergi terlebih dahulu sebelum melihat keluarga kami utuh kembali.
Dua bulan setelah ulang tahunku, hal yang sangat tak terduga terjadi. Aku harus kembali kehilangan orang yang aku sayangi. Aku tak menyangka Daniel pergi secepat itu. Memang selama satu minggu dia di rawat di rumah sakit karena kelainan jantung yang dideritanya sejak kecil. Tetapi kondisinya sudah membaik bahkan dia sudah meninggalkan rumah sakit dan bisa bermain lagi denganku. Sampai siang itu, Mbak Ririn menelponku, memberitahu kabar mengejutkan itu. Mendengar bahwa Daniel di rawat di rumah sakit saja aku kaget setengah mati, pasalnya selama ini aku tidak tahu kalau Daniel punya penyakit separah itu, apalagi tiba-tiba aku mendapat berita mengejutkan tentang kematian Daniel. Rasanya langit runtuh dan duniaku hancur seketika itu juga.
Padahal baru setahun kami bersama, aku baru saja menemukan kebahagiaanku, dan sekarang aku kembali dihadapkan pada cobaan yang menguras habis air mataku. Dulu sebelum dia datang, dunia ini terasa kelabu untukku, dan kemudian dia datang membawa sinarnya yang menjadi penerang disetiap langkahku. Lalu saat penerang itu telah pergi, akankah duniaku menjadi kelabu kembali?
Aku menguatkan diriku untuk menghadiri pemakaman Daniel. Seharian aku menangis di atas pusara Daniel, sampai Mbak Ririn datang menghampiriku.
“Ini titipan Daniel, Tha.” Kata Mbak Ririn sambil memberikan sebuah album foto berukuran besar. Mbak Ririn tau aku sedang kalut, jadi dia pergi meninggalkanku sendiri. Tak sengaja aku membuka halaman terakhir album itu, ada tulisan tangan Daniel yang khas. Kata-kata dalam album itu yang seketika menghentikan tangisku dan membuatku sadar bahwa aku harus bangun dari mimpi buruk ini dan melanjutkan hidupku.
“Terimakasih untuk satu tahun yang berkesan ini, Daniel“ kataku tulus.
***
Sampailah aku pada halaman terakhir album ini, kuraba dengan penuh kasih tulisan tangan Daniel. Kubaca dan kucermati setiap kata dalam tulisan itu.
Thaya, mungkin saat kamu melihat dan membaca album ini aku sudah tak ada lagi di dunia ini. Tapi taukah kamu, tujuh belas tahun aku hidup di dunia ini, hanya satu tahun terakhir ini yang berkesan untukku. Satu tahun bersamamu, itu adalah anugerah terindah untukku. Dari saat pertama kali aku melihatmu yang sedang menangis di lorong, aku sudah menduga kalau kita punya nasib yang sama.
Maaf kalau selama ini banyak hal yang aku sembunyikan darimu, tentang sakit yang aku derita, tentang hidupku yang penuh kesengsaraan ini. Saat kamu sedih, ingatlah bahwa masih banyak yang lebih menderita darimu, termasuk aku. Seumur hidupku, aku bahkan tidak tau siapa orang tua kandungku, aku dibuang di panti asuhan. Sampai usia tujuh tahun, aku punya orang tua angkat yang tidak pernah menganggapku ada. Dulu aku pikir, untuk apa aku hidup jika tidak ada yang mengharapkanku hidup. Sampai akhirnya aku mengenalmu, dan aku tau tujuan hidupku yang singkat ini. Tuhan menciptakan aku di dunia ini untuk meyakinkanmu bahwa sahabat sejati itu dan tak sekedar dalam anganmu saja.
Tugasku di dunia ini sudah selesai Thaya, kamu sudah percaya akan adanya makhluk yang bernama sahabat. Dan kini kamu juga sudah menemukan kembali kebahagiaanmu bersama keluarga tercintamu. Aku pernah berkata padamu “Menangislah hanya jika aku ada di sampingmu”, dan sekarang aku sudah tidak ada di sampingmu lagi untuk selamanya. Jadi permintaan terakhirku Thaya, jangan pernah menangis lagi, aku yakin kamu gadis yang kuat. Teruslah tersenyum Thaya, karena senyummu adalah kebahagiaan terbesar dalam hidupku.
Sahabat dalam Anganmu,
Daniel Wira Atmadja
“Daniel, terimakasih telah hadir dalam hidupku dan mengubah duniaku, walau hanya satu tahun. Kini aku menjadi Nathaya yang kuat dan ceria. Aku bisa melewati hari-hari terberat dalam hidupku setelah kepergianmu. Hebat kan ? Aku akan terus hidup untuk orang tuaku. Sampai kapanpun, kamu akan tetap jadi sahabatku, Daniel. Sahabat dalam anganku, selalu di hatiku,” kataku dalam hati sembari tersenyum memandang langit malam.
###