Cinta Seputih Awan

Cinta, aku tak pernah mengharap kehadirannya, tapi aku juga tak kuasa untuk mengelaknya. Aku hanya bisa menjaga perasaan ini, menjaga cinta ini, untuk satu orang yang telah berhasil merobohkan benteng pertahanan hatiku. Cintaku padanya, bisa diibaratkan seputih awan, sebiru lautan, dan sebening mata air. Begitu tulus, begitu suci, dan begitu alami. Tak pernah aku mengharapkan cinta itu kembali menyapa, cukup melihat cinta itu tumbuh dengan sewajarnya dan menambatkan diri pada pilihan yang tepat, meskipun cinta tak pernah singgah sedikitpun di hati ini.
Aku mencintainya, walau musim telah berganti, walau putih tlah menjadi kelabu, dan walau dunia telah menjadi fana. Cintaku tetap bertahan pada satu hati, pada DIA yang teristimewa di hati. Aku bukan menanti datangnya cinta, aku hanya membiarkan cintaku tumbuh dan berkembang meski dia tak pernah tau bahwa ada cinta yang selalu menyertainya. Aku bahagia dengan cinta rahasia ini, dengan cinta yang hanya ku pendam sendiri.
###
Kini, aku tengah berdiri di hamparan padang ilalang, tempat rahasiaku, tempat mencurahkan segala isi hatiku. Hanya satu nama yang sebenarnya memenuhi hati dan pikiranku hingga terasa penuh sesak, nama yang selalu muncul di ingatanku tanpa bisa kulupakan barang sedetik pun. Nama yang satu tahun belakangan ini selalu menjadi ingatan terakhir sebelum aku terlelap, dan menjadi hal pertama yang kuingat saat aku terbangun.
“ARDIAAAAN !” suara itu selalu menggema di tengah keheningan padang ilalang. Saat kuteriakkan nama itu, rasanya beban yang selalu mengganjal di hatiku tlah hilang, tergantikan oleh ketenangan yang ditularkan oleh langit kepadaku. Saat aku merasa putus asa untuk menahan besarnya cinta ini, saat aku tak sanggup menanggung cinta ini terlalu lama, tempat inilah oase itu, tempat ini memberi ketenangan tersendiri untukku, memberiku kekuatan untuk terus menjaga cinta ini, hingga akhir kisahnya nanti.
“Tania, aku tau kamu pasti disini !” empunya suara itu adalah Radila, sahabatku. Hanya dia yang tau tempat rahasiaku ini.
“Ada apa ?” tanyaku heran dengan kehadirannya yang tiba-tiba.
“Ntar sore ada pertandingan basket, kamu nonton nggak ?” tanya Radil dengan senyum penuh arti.
“Haa ? serius nih ?” tanyaku heboh tak percaya.
“Yaiyalah, kamu sih ketinggalan info, padahal anak-anak udah pada heboh dari kemarin. Big match nih !” jawab Radila.
Seketika itu senyumku merekah, ini adalah kesempatan yang selalu aku kunantikan. Aku berlonjak-lonjak kegirangan. Radil menatapku dengan senyum itu, senyum yang selalu ia berikan saat cinta rahasia ini memberiku kebahagiaan. Hanya Radil yang tahu tentang cinta tanpa harap ini.
###
“PEMBANGUNAN….. PEMBANGUNAN,” teriakan-teriakan itu memenuhi lapangan basket indoor sekolahku, SMA Pembangunan Jaya. Suara yang bising, penonton yang berjubel memenuhi bangku, daan poster-poster sebagai dukungan dari sekolah masing-masing, telah membuat lapangan terasa penuh sesak.
“Tan, ke atas yuk, tuh disamping Gita ada tempat kosong !” ajak Radil sambil menunjukkan ke tempat Gita yang tengah melambaikan tangan. Radil segera menarik tanganku menaiki tangga menuju ke tempat Gita.
Kulayangkan pandangan ke sekeliling, mengamati para penonton yang sedang heboh. Di seberang tempatku duduk, tampak pendukung dari SMA CITRA BANGSA. Mereka sama hebohnya dengan sekolahku, berteriak semangat menyebut nama sekolah mereka sambil mengangkat poster yang mereka bawa.
“Tania,” panggil Radil sambil menyoel pundakku. Dia mengarahkan dagunya menuju tengah lapangan, menunjukkan sesuatu padaku.
Senyum itu kembali tersungging di wajahku. Dia yang menjadi alasanku datang kesini tengah berjalan memasuki lapangan diikuti dengan anggota tim yang lain. Tak pernah kusia-siakan kesempatan seperti ini, kuamati dengan seksama setiap hal kecil yang ia lakukan. Mungkin dia tak pernah menyadari ada seorang wanita yang begitu tergila-gila padanya. Bahkan wanita itu mengetahui hampir semua hal tentangnya. Ya, wanita gila itu adalah aku.
PRRIIIIIITTTTT……..
Peluit telah dibunyikan, dan pertandingan pun akan segera dimulai. Masing-masing kapten dari tiap tim bediri berhadapan di tengah lapangan. Itu dia, salah seorang yang sedang berdiri dengan gagahnya di tengah lapangan, dengan tatapan tajam yang mampu menghunus lawannya, dia Ardian, seseorang yang selalu hadir di setiap mimpiku. Aku selalu menyukai sat-saat seperti ini, saat dia menunjukkan tatapan dingin yang menusuk itu, dia semakin terlihat mempesona.
Lapangan semakin menggelora saat pertandingan dimulai, terdengar suara penonton riuh rendah. Pertandingan berjalan sangat sengit, skor masing-masing tim saling mengejar. Tiba-tiba lapangan menjadi hening ketika Ardian terjatuh di tengah lapangan, salah seorang tim lawan menjegal kakinya hingga ia tersungkur. Teriakan kemarahan para penonton dari Sma Pembangunan seketika membahana memenuhi lapangan. Aku sendiri, suaraku tercekat di tenggorokan melihat Ardian disana. Aku tak mampu berucap, aku ingin berlari ke tengah lapangan dan menolongnya, tapi itu mustahil.
Sepertinya cedera yang dialami Ardian cukup parah hingga ia harus dilarikan ke luar lapangan. Hal yang paling menyakitkan untuk seseorang adalah ketika ia begitu dekat dengan orang yang dicintainya, melihat orang itu kesakitan, namun tak bisa berbuat apa-apa untuk orang yang dicintainya itu. Yang bisa aku lakukan hanya berdo’a untuk kesembuhan Ardian.
Pertandingan tetap berlangsung meskipun tanpa Ardian, dan skor dari tim sekolah kami kian tertinggal jauh dari skor lawan. Tak heran karena selama pertandingan tadi, Ardianlah yang menyumbang paling banyak skor, selain itu mental para pemain juga down karena kehilangan sang kapten. Dan hasilnya, sekolah kami kalah dengan skor 45-58.
“Nggak mau liat Ardian dulu, Tan ?” tanya Radila saat kami berjalan meninggalkan lapangan.
“What for ?” aku balik bertanya mencoba menyembunyikan kecemasanku.
“Alah, pake pura-pura segala lagi. Aku tau kok kamu khawatir banget sama dia. Keliatan tau dari muka kamu,” kata Radila dengan senyum menggoda.
“Nggak ah, pulang aja yuk.” Aku tersenyum masam.
Ku coba menghalangi keiginanku untuk melihat kondisi Ardian di UKS. Kupercepat langkahku menuju tempat parkir dan mengeluarkan sepedaku, saat tiba-tiba aku mendengar sebuah nama disebut-sebut.
###
“Kasihan banget ya Ardian, kayaknya lukanya serius tuh !” kata seseorang pada temannya yang lain.
“Iya, sampe dibawa ke rumah sakit gitu.” Kata orang yang lain.
“Gimana ya kalo dia sampe dia nggak bisa main basket lagi ?”
“Wahh, bisa gawat kalo gitu. Kalian kan tau sendiri basket itu hidupnya.”
Napasku seketika berhenti mendengar pembicaraan itu, kakiku bergetar hebat, rasanya langit runtuh seketika itu juga. Saat aku mulai mendapatkan kesadaranku , aku segera memarkir sepedaku kembali dan berlari menuju UKS.
Sepi, tak ada seorangpun di ruang Uks. Lalu dimana Ardian ? percakapan itu kembali berputar diotakku, dan seingatku mereka bilang Ardian dibawa ke rumah sakit. Tapi aku tidak tahu dimana rumah sakit tempat Ardian dirawat itu. Aku sangat menyesal karena tidak mengikuti ajakan Radila tadi. Kini hatiku berkecamuk. Bagaimana kalau terjadi apa-apa dengan Ardian.
“Cari siapa Tan ?” seseorang menyentuh pundakku dari belakang, dan itu membuatku terkejut. Ternyata Fian, salah satu anggota tim basket.
“Emm, anu, emm, kamu tau dimana Ardi ?”tanyaku gugup.
“Ohh, dia dibawa ke rumah sakit Bakti Harapan.” Jawab Fian.
“Emang separah apa sampe dia harus dibawa ke rumah sakit ?” kekhawatiran semakin berkelebat di benakku.
“Aku kurang tau juga sih, tapi kata anak-anak tadi dia cukup parah,”
“Ini aku mau ke rumah sakit. Kamu mau bareng aku ?” lanjut Fian ketika tidak ada jawaban dariku.
“Em, tapi aku bawa sepeda.”
“Mending naik motorku aja biar cepet”
“Yaudah deh, tapi sepedaku gimana ?”
“Ntar aku antar lagi kesini deh,”
“Makasih ya.”
Fian memacu motornya dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit dan itu cukup membuatku takut. Tak sampai dua puluh menit kami sampai di rumah sakit, rasanya perutku mual mencium bau rumah sakit yang khas. Namun kutahan semuanya demi Ardi, semoga tidak terjadi apa-apa dengannya Tuhan.
###
“Dia ada di ruang UGD, Tan !” kata Fian .
Aku segera berlari, satu inginku saat ini, melihat kondisi Ardi baik-baik saja. Di depan UGD, aku melihat banyak teman-teman Ardi$2C wajah mereka menunjukkan kekhawatiran yang sama denganku. Kebanyakan dari mereka adalah anggota tim basket, beberapa teman sekelasnya, dan Pak Burhan, pembina basket.
“Bagaimana keadaan Ardi, Pak ?” tanyaku pada Pak Burhan.
Sontak semua yang ada disini melihat ke arahku, mungkin mereka heran dengan keberadaanku disini karena aku tidak terlalu akrab dengan Ardi, kelas kami juga berjauh-jauhan,dan dia hanya teman sekelasklu waktu di kelas X.
“Dia masih diperiksa dokter,” jawab Pak Burhan singkat, wajah beliau juga menunjukkan kekhawatiran.
Jujur aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan saat ini, aku tidak terlalu kenal dengan mereka semua. Bagaimana kalau mereka curiga bahwa aku memiliki perasaan khusus pada Ardi ? berbagai perasaan bercampur aduk dalam hatiku. Antara kekhawatiran tentang kondisi Ardi dan kekhawatiran terbongkarnya rahasiaku ini.
Akhirnya dokter keluar dari ruang UGD itu dan mengajak Pak Burhan ke ruangannya, entah apa yang akan mereka bicarakan. Yang jelas dua orang dari kami diijinkan untuk melihat kondisi Ardi secara bergantian, tentu akulah yang menjadi orang terakhir yang masuk ke ruangan itu.
Tatapan heran juga terlihat dari raut wajah Ardi ketika aku dan Fian memasuki ruangan. Tapi masa bodoh, harusnya dia bersyukur aku peduli padanya. Kondisi Ardi tidak separah yang aku bayangkan, dia sadar malah bisa tertawa, hanya kaki dan siku tangannya yang dibalut perban. Syukurlah, rasa khawatirku jauh berkurang dari sebelumnya. Sekarang justru jantungku berdebar tak karuan. Ini kali pertamanya aku berdiri begitu dekat dengannya dan melihatnya tersenyum padaku. Jangan sampai wajahku memerah seperti udang rebus.
“Kamu sakit Tan ? wajahmu kok merah gitu ?” sayangnya harapanku tidak terkabul, justru pertanyaan tak diduga itu terlontar dari mulut Ardi.
“Emm, anu anu, a..aku nggak pa-pa kok. Mungkin karena suhu disini yang lumayan panas,” jawabku kentara sekali canggung.
“Eh ? disini kan pake AC, Tan,” sahut Fian.
Aduh, alasanku benar-benar tidak masuk akal. Bagaimana ini ? rasanya aku sudah tidak punya wajah untuk melihat Ardi. Alhasil, aku hanya tersenyum menunjukkan sederetan gigiku. Aku sempat melihat Ardi tersenyum geli melihat kekonyolanku.
“Pulang yuk, Tan !” ajak Fian.
Aku pun mengangguk, memang ini yang aku tunggu-tunggu dari tadi. Aku tidak mau Ardi melihat kekonyolanku lagi. Saat keluar dari ruangan aku melihat Pak Burhan berbicara pada orangtua Ardi yang baru saja datang.
“Sepertinya Ardi harus segera dioperasi sebelum kondisi kakinya semakin parah,” kata-kata itu kontan membuatku tersentak. Melihat kondisi Ardi yang baik-baik saja, aku tidak menyangka jika bisa separah ini.
###
Aku tidak berani menjenguk Ardi lagi setelah kejadian memalukan itu. Mendengar berita dari teman-teman, kondisi Ardi sudak membaik pasca operasi. Benar-benar lega rasanya mendengar berita itu.
“Es jeruk dibungkus ya, Bu !“ kataku pada Bu kantin.
Betapa terkejutnya aku saat menoleh dan mendapati Ardi sedang duduk berdua dengan Dinar di salah satu bangku kantin, dan mereka terlihat mesra seperti sepasang kekasih. Rasanya isi perutku seperti diaduk-aduk, mual, pusing, jantungku berdebar begitu hebat. Aku segera berjalan dengan langkah gontai meninggalkan kantin, tanpa mempedulikan pesananku tadi. Yang penting air mataku tidak tumpah disini.
“Kamu kenapa Tan ?” tanya Radila saat aku memasuki kelas.
Aku hanya menggeleng, aku yakin kalau aku bicara pasti air mataku mengalir deras seketika itu juga. Sekuat tenaga aku menahan perasaan yang bergejolak dalam diriku ini, ku gigit bibir bagian bawahku hingga berdarah. Aku tahu Radila pasti memahaminya.
Aku pikir cintaku tak butuh balasan, tapi ternyata melihat dia mempunyai kekasih saja aku tak sanggup. Setelah perjuanganku, setelah penantianku selama ini, hanya kekecewaan yang aku dapat. Selama ini aku pikir tak sulit bagiku untuk menerima kenyataaan seandainya Ardi punya kekasih, tapi dulu aku tak berpikir bahwa rasanya sesakit ini.
Sekuat tenaga aku menahan air mata yang berdesakan ingin keluar dari mataku ini, aku tidak ingin menangisinya. Semalaman aku hanya berdiam diri si kamar, merenungi kejadisn hari ini. Aku ingin membuang perasaan ini jauh-jauh, aku tak ingin jatuh cinta bila rasanya seperih ini.
Tapi aku teringat akan keyakinanku dulu, aku akan membiarkan cinta ini tumbuh apa adanya. Mungkin ini langkah awal untuk menguji ketulusanku padanya. Aku harus bertahan, kuyakinkan hatiku bahwa suatu saat nanti Ardi akan melihatku yang tulus mencintainya. Penantianku tak akan sia-sia.
Keesokan harinya sekolah dihebohkan oleh berita Ardi dan Dinar yang benar jadian. Bahkan mereka selalu terlihat bersama. Dinar terlihat begitu sabar mendampingi Ardi yang harus berjalan terpincang-pincang dengan menggunakan tongkat penyangga. Aku berusaha menguatkan hatiku untuk melihat pemandangan yang akan terus kulihat sampai entah kapan ini.
“Yang sabar ya Tania, aku tau gimana perasaan kamu. Tapi tenang aja, aku akan selalu disini buat bantu kamu,” kata Radila menenangkanku.
“I will be fine, cintaku seputih awan Ra,” kataku padanya.
“I know, aku yakin kamu bisa nglewatin semua ini dan suatu saat nanti kebahagiaan akan datang padamu,”
Aku berusaha untuk tersenyum seperti biasa, tapi yang terlihat justru senyum palsu. Satu hal yang membuatku bersyukur, aku mempunyai sahabat sebaik Radila yang selalu ada untukku.
###
Dua minggu kemudian, aku dengar Ardi dan Dinar putus. Aku pikir Dinar perempuan baik yang akan selalu sabar mendampingi Ardi dengan keadaannya yang seperti sekarang, tapi ternyata aku salah. Ternyata Dinar hanya menjadikan Ardi bahan taruhan dengan gengnya yang popular itu. Hatiku jauh lebih sakit dari saat aku melihat Ardi dan Dinar bersama, setidaknya dulu aku bisa melihat Ardi selalu tersenyum.
Aku tidak bisa membayangkan betapa pedihnya luka yang Ardi rasakan. Mengetahui bahwa dia tidak bisa bermain basket lagi sudah cukup menyakitkan untuknya, apalagi ditambah kenyataan bahwa dia dijadikan bahan taruhan oleh geng tidak punya hati itu. Pasti ini sangat berat untuknya. Aku tidak pernah lagi melihat senyum Ardi, dan jujur aku sangat merindukannya.
“Ouch !!”
Aku melihat Ardi terjatuh dari tangga di koridor, entah kenapa tanpa sadar aku berlari untuk menolongnya.
“Makasih, Tan.” Kata Ardi tanpa ekspresi.
“sama-sama,” jawabku.
Saat ini aku tengah duduk berdua dengan Ardi di kursi koridor, menunggu jemputan masing-masing. Sepertinya keadaan ini sudah direncanakan oleh Tuhan, hanya aku dan Ardi di tempat ini, semua ini kebetulan yang tepat. Jantungku kembali bergejolak, bahkan melebihi sebelumnya. Sampai-sampai aku takut Ardi bisa mendengarnya.
“Tumben nggak bawa sepeda, Tan ?” tanya Ardi memecah keheningan.
“Emm, bannya lagi bocor.” Jawabku mencoba bersikap biasa.
“Oh,” dia bergumam pelan.
“Gimana keadaan kaki kamu ? udah baikan ?” tanyaku.
“Ya gini deh, udah mendingan tapi masih belum bisa jalan,”
“Oh, yang sabar aja, dilatih pelan-pelan ntar juga bisa lagi.”
Kami mulai mengobrol panjang lebar, mulai dari mengenang masa kelas satu kami, menggosip tentang Pak Beng –guru biologi yang paling ajaib-, sampai membicarakan masalah universitas dan fakultas yang akan kami ambil satu tahun lagi. Ternyata Ardi sangat menyenangkan, dia asyik diajak ngobrol, suka bercanda dan yang terpenting aku bisa lihat dia tertawa lagi. Hanya satu jam aku mengobrol berdua dengannya karena ayah keburu menjemputku.
Ih ayah ini ganggu aja, nggak tau anaknya lagi seneng apa, gerutuku dalam hati.
Hari ini benar-benar hari terindah sepanjang hidupku, benar-benar tak terlupakan. Aku harus segera memberitahu Radila berita bahagia ini.
“Halo, Radil.” Seruku begitu telpon diangkat.
“Eh, kamu kenapa Tan ? tumben seneng banget ?” jawab Radil heran.
“Aaaaargh, tadi siang aku ngobrol berdua sama Ardi,” terangku heboh.
“HAH ? KOK BISA ?” jawab Radil terdengar kaget.
“Aduh, biasa aja deh nggak usah heboh gitu. Haahaha, jadi tadi kan aku sama dia lagi nunggu jemputan terus ngobrol lama deh !”
“Iya deh, yang lagi seneng. Aku juga ikut seneng dengernya !”
“Haahaha, kamu emang paling tau aku. Yaudah ya, aku mau tidur dulu. Good night Radila !”
“Night too, Tania. Semoga mimpi Ardi ya !”
“Hahaaha, amiin. Bye !”
###

Setelah kejadian itu, hubunganku dengan Ardi semakin dekat. Dia juga sering mengirim pesan padaku. Aku tidak tahu dia mendapat nomorku dari mana, yang jelas hatiku berbunga-bunga saat pertama kali menerima pesan darinya.
Ini Tania ya ?
Begitu bunyi pesan pertama Ardi yang masih ku simpan di ponselku, dan di hatiku tentunya. Aku jadi lebih tahu banyak tentang dia, juga kebiasaan-kebiasaannya. Dan yang paling menyenangkan adalah ketika aku bertemu dengannya di kantin dan dia melemparkan senyumannya yang membuatku melayang.
Tan, besok bisa ketemuan nggak ?
Tak kalah mengejutkannya, Ardi mengajakku bertemu. Tanpa pikir panjang, kubalas pesan singkat darinya itu.
Dimana ? kapan ?
Sedetik kemudian dia kembali membalasnya.
Di koridor besok sepulang sekolah, bisa ?
Mendadak tubuhku lemas saking senangnya, bertemu dan mengobrol dengan Ardi, itu yang selalu aku tunggu-tunggu setelah obrolan pertama kami dulu.
Entah mengapa hari ini waktu terasa lama sekali, leherku sampai sakit karena sebentar-sebentar menoleh ke jam dinding di belakang kelas. Berulang kali aku mencoba konsentrsi, tapi hasilnya nihil. Selalu bayangan Ardi yang berkelebat dibenakku. Sepertinya Ardi benar-benar sudah membuatku gila.
TEEETTT TEEETTTT TEEETTTT …..
Akhirnya yang aku nantikan sedari tadi datang juga. Bel itu seperti malaikat yang menyelamatkanku dari ancaman mati kebosanan di kelas. Segera kurapikan buku-buku pelajaranku yang berserakan di meja.
“Mau kemana sih buru-buru amat ?” tanya Radila.
“Mau tau aja,” jawabku.
“Gitu ya sekarang, kalo lagi seneng temen dilupain,” lanjut Radila pura-pura marah.
“Besok aja ya, Radila sayang. Pasti aku certain deh, duluan ya. Bye” kataku sambil berlalu meninggalkan kelas.
Dalam perjalanan menuju koridor, kupelankan langkahku saat melewati kelas Ardi, berharap dia akan muncul dari balik pintu. Tapi ternyata sia-sia, mungkin dia sudah ada disana, pikirku. Kembali kupercepat langkahku. Ardi tidak ada di koridor, aku memutuskan untuk menunggunya. Menunggu, menunggu, dan menunggu, sampai aku ingin menyerah dan pergi dari sini. Tapi aku sudah bertahan sejauh ini, bahkan bertahun-tahun aku sudah menunggu, ku bulatkan tekadku untuk bersabar menunggunya. Satu per satu orang mulai beranjak meninggalkan koridor, hingga tinggal aku disini.
Tepat ketika aku akan menyerah dan beranjak dari tempat dudukku, Ardi datang menghampiriku. Beribu kata-kata sudah akan keluar dari mulutku tatkala Ardi memegang kedua tanganku. Kemarahanku seketika sirna digantikan oleh perasaan antara senang, berdebar-debar, dan malu. Sepertinya wajahku mulai memerah.
“Maaf udah buat kamu nunggu lama, aku harus mengambil sesuatu dulu tadi,” kata Ardi.
Tiba-tiba dia berlutut di hadapanku, dengan tetap memegang kedua tanganku. Padahal kakinya masih sakit, tapi dia tetap melakukannya. Ardi mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya.
“Tania, ti amo. Aku mencintaimu, maukah kamu jadi kekasihku ?”
Sepertinya ada beribu bintang di kepalaku, aku masih tidak mempercayai semua ini. Lidahku kelu tak mampu berucap, tubuhku lemas dan berkeringat dingin. Ini yang kutunggu-tunggu selama ini.
“Kalau kamu mau menerimaku, ambil kalung ini dan pakailah, tapi kalau tidak kamu buang saja,” lanjutnya, wajahnya terlihat menegang dan cemas menunggu jawaban dari.
Tanganku bergetar hebat ketika akan mengambil kalung dari tangan Ardi. Susah payah aku berusaha mengambilnya. Aku mengamati kalung perak dengan liontin berbentuk pemain basket yang sedang melakukan lay up itu sejenak. Setelah cukup lama berpikir, ku kembalikan kalung itu pada Ardi. Dan dia begitu tercengang menerimanya kembali.
“Pakaikan ini untukku,” kataku singkat.
Ardi tersenyum lebar mendengar perkataanku itu.
“Terimakasih Tania,” katanya sambil memasangkan kalung itu dileherku.
Inilah yang aku tunggu-tunggu, penantianku selama ini telah mencapai puncaknya. Cinta seputih awan itupun akhirnya berbalas, kebahagiaan itu datang jauh melebihi apa yang aku pikirkan selama ini. Dan akhirnya cinta dengan sayap lembutnya membawaku terbang hingga menembus awan.