Ijinkan Aku Bermimpi

“Key, kamu tau nggak, dulu bermimpi untuk sampai kesini saja aku tak berani. Tapi sekarang kita bisa berdiri disini. Ini luar biasa !” kataku pada Keyza, sembari mendongak menatap menara Eiffel yang menjulang dengan kokohnya.
“Inilah hasil dari jerih payahmu, Fi.” Jawab Keyza yang juga terlihat sedang mengagumi menara Eiffel.
Kupenjamkan mata dan kuhirup udara dalam-dalam. Jadi inikah aroma kesuksesan itu ? Saat kita telah berusaha sekuat tenaga dan berhasil menggenggam angan kita , beginilah rasanya. Indahnya luar biasa. Hanya air mata kebahagiaan yang bisa mengungkapkan betapa aku bersyukur atas semua pencapaian ini. Terimakasih Tuhan, Engkau telah membantuku melewati fase-fase tersulit dalam hidupku itu, Saat semua orang mencibirku, mengabaikanku, dan meninggalkanku,hanya Tuhan yang setia menemaniku.
Suasana menara Eiffel di musim panas yang penuh dengan pengunjung, memberikan kesan tersendiri untukku. Meskipun kami tak bisa naik ke puncak karena antrian yang sangat panjang, aku tak terlalu kecewa, karena masih banyak kesempatan untuk kemari lagi. Rumput hijau yang subur dan terpotong rapi seperti melambaikan tangannya padaku, memintaku untuk berbagi kebahagiaan yang tengah kurasakan. Duduk di atas rumput sembari menikmati indahnya menara Eiffel, sungguh menyenangkan. Aku merasa semua kepenatan hidupku telah menguap hingga tak tersisa. Ringan sekali.
Namun ketenanganku tidak berlangsung lama karena tiba-tiba kenangan lama itu muncul kembali…

***

“Oalah nduk, nduk. Kamu itu jangan mimpi, disesuikan saja dengan kenyataan yang ada”, kata bapak saat aku mengatakan tentang keinginanku untuk kuliah di Jakarta.
“Tapi aku juga ingin punya mimpi seperti teman-temanku yang lain, pak. Aku ingin kuliah biar jadi orang sukses,” yakinku pada Bapak.
“Biayanya lo nduk dari mana ?” Tanya bapak.
“Aku bisa cari beasiswa dan kuliah sambil kerja, Pak” yakinku lagi.
“Sudahlah berhenti bermimpi. Lihat itu tetangga-tetangga kita yang jadi sarjana, mereka sekarang kerjanya jadi apa ? Akhirnya jadi petani juga kan ! Lalu buat apa kuliah kalau hasilnya cuma jadi petani gitu ? Buang-buang uang saja. Mending kamu bantu bapak jaga toko saja, lebih jelas itu hasilnya !” terang Bapak.
“Nggak pak, aku mau merubah hidupku, aku mau jadi orang sukses. Aku mohon pak, ijinkan aku bermimpi, agar aku punya ambisi untuk mencapai mimpi itu,” kataku tidak terima dengan keputusan bapak.
“Udahlah pak, Fira itu terlalu idealistis. Ntar juga tau sendiri akibatnya, dia sendiri juga yang merasakannya nanti.” Timpal ibu dari dapur.
Malam itu rasanya semua anganku telah terhempas. Bermimpi untuk kuliah pun aku tak diijinkan. Bukankah hidup berawal dari mimpi ? lalu jika bermimpi saja aku tak boleh, untuk apa aku melanjutkan hidup ini ? Buat apa juga selama ini orangtuaku selalu menyekolahkanku ke sekolah favorit kalau hasilnya aku tak boleh kuliah ? aku tahu kondisi ekonomi keluargaku memang pas-pasan, tapi banyak kok alumni-alumni SMAku yang keluarganya jauh lebih tidak mampu dariku, tapi mereka bisa kuliah hingga jadi orang sukses dengan bermodalkan dukungan penuh dari orangtua. Setidaknya itu yang aku harap, Bapak dan Ibu mengijinkanku untuk bermimpi dan mengejar mimpi itu bagaimanapun caraku. Ini hidupku, masa depanku ada di tanganku, dan tidak ada seorangpun yang berhak merusaknya.
Saat itu ujian akhir nasional sudah dekat, tapi bahkan aku belum memutuskan mau kemana setelah lulus SMA nanti. Beruntung aku punya Keyza, sahabatku sejak SMP. Dia yang selalu memotivasi aku untuk memperjuangkan masa depanku. Dia menawariku untuk kuliah bersama di Jakarta dan tinggal di rumah Bibinya. Aku benar-benar dilema, apakah aku harus melawan orangtuaku demi memperjuangkan masa depanku ? hari-hari, minggu-minggu, dan bulan-bulan itu aku sungguh dirundung kegalauan, antara mimpi dan orang tua.
Akhirnya setelah kelulusan, aku memutuskan untuk ikut Keyza ke Jakarta. Saat aku mengatakannya pada Bapak dan Ibu, mereka sangat marah dan mengatakan aku anak durhaka. Tapi tekadku sudah bulat, aku akan menuntut ilmu di Jakarta dengan bekal uang tabunganku yang sangat minim.
Sampai di Jakarta aku mulai mencari pekerjaan dan tempat kost, sebelum tes masuk universitas dimulai. Aku tidak mungkin terus-menerus menumpang pada Bibi Keyza yang memang orang berada itu. Setelah tiga hari menginap di rumah Bibi Keyza, akupun mendapatkan tempat kost di dekat kampus yang aku menjadi tujuan utamaku itu, dengan uang tabunganku yang pas-pasan. Keyza sempat mencegahku, tapi aku tetap keukeuh pada pendirianku untuk tidak menyusahkan orang lain. Dan akhirnya aku mendapat pekerjaan sebagai kasir di sebuah supermarket di siang hari dan menjadi pelayan restaurant di malam hari. Aku juga menyempatkan diri untuk belajar disela-sela pekerjaanku. Dan yang pasti, tak ada henti-hentinya aku berdo’a pada Tuhan agar memberikanku kemudahan dalam perjuanganku ini.
Inilah fase terberat dalam delapan belas tahun hidupku. Aku baru merasakan jauh dari orang tua, susahnya mencari uang, dan hati yang dipenuhi kekhawatiran akan hidupku di hari esok. Bagaimana kalau akhirnya aku gagal masuk ke universitas yang aku inginkan itu ? dan aku kembali ke pangkuan orangtuaku tanpa hasil apapun, betapa malunya aku jika hal itu sampai terjadi. Penyesalan karena tidak mengikuti perintah orangtua terkadang menghampiriku. Tapi dengan segera kuhapuskan semua pikiran itu. Ini baru langkah awal untuk menggapai mimpiku, aku harus kuat sampai langkah akhir.
Akhirnya tes itupun datang juga, aku sempat pesimis karena aku tidak mengikuti bimbingan belajar seperti yang lain. Tapi Tuhan menjawab do’aku, sebuah mukjizat karena aku dapat lolos tes dan diterima di fakultas hukum universitas yang aku inginkan itu. Keyza juga diterima di universitas yang sama di fakultas ekonomi. Segera ku telpon orangtuaku yang ada di Semarang. Amarah mereka telah berganti dengan kekhawatiran yang mendalam, aku bilang pada mereka bahwa aku hidup tenang disini. Sengaja tak kuceritakan tentang perjuangan dan kerja kerasku, aku tidak mau membuat orangtuaku lebih khawatir, biar mereka fokus mengurus adikku yang sekarang baru masuk Smp. Aku pasti bisa mengurus hidupku sendiri. Aku harus mandiri, itu yang selalu kutekankan pada diriku.
Beban dihatiku sedikit berkurang setelah aku lolos test itu, tapi kekhawatiran lain muncul. Bagaimana aku membayar biaya kuliah ? untuk membiayai hidup sehari-hari saja aku masih kelimpungan, gajiku juga tidak cukup untuk biaya masuk kuliah. Dan lagi-lagi, Keyza menjadi malaikat penolongku, dia mencarikan beasiswa untukku, tinggal aku mengikuti test. Tuhan benar-benar menolongku, Dia mengijikan aku menerima beasiswa itu dan akupun bebas dari biaya kuliah sampai semester satu selesai.
Aku benar-benar berusaha keras, pikiranku hanya focus pada kuliah dan pekerjaanku. Aku benar-benar berambisi untuk lulus sesegera mungkin. Kuliah sambil kerja sangatlah tidak mudah, apalagi aku juga tidak punya sarana yang cukup untuk menyelesaikan tugas kuliah. Setiap hari aku harus ke warnet, dan untuk itu aku harus mengurangi jatah makanku menjadi makan sekali sehari. Namun akhirnya, dalam kurun waktu 2,5 tahun aku berhasil menyelesaikan S1. Bahkan aku mendapat tawaran beasiswa S2 ke Pais, Prancis. Aku bebas dari biaya kuliah, mendapat asrama, bahkan mendapat dana untuk ke Paris ditambah dengan pesangonnya. Benar-benar hal yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.
Sebelum memutuskan untuk menerima beasiswa itu atau tidak, aku ingin pulang ke Semarang terlebih dahulu. Selama 2,5 tahun aku hanya berhubungan dengan orangtua dan adikku melalui telpon saja. Aku tidak punya cukup biaya untuk pulang selama liburan, alhasil aku menambah pekerjaanku disaat teman-teman yang lain bisa berkumpul dengan keluarganya di kampung halaman. Dengan pekerjaan itu, lumayan aku bisa sedikit menabung untuk pulang ke Semarang.
Bapak, Ibu, dan Surya, adikku, menyambut kedatanganku di terminal. Rasa rinduku sudah memuncak, kupeluk mereka erat-erat. Bapak dan Ibu sangat bangga dengan pencapaianku. Mereka juga meminta maaf atas kesalahannya dulu yang tidak mengijinkanku bermimpi, dan tidak dapat hadir dalam wisudaku karena kondisi ekonomi yang sedang memburuk. Aku juga meminta saran pada Bapak dan Ibu tentang beasiswa ke Paris itu, dan mereka begitu bahagia mendengarnya, bahkan Ibu sampai menangis memelukku. Mereka menyuruhku untuk segera menerima beasiswa itu. Sungguh bahagia rasanya bisa melihat Bapak dan Ibu tersenyum bangga padaku.
“Tapi Pak, Bu, Paris itu tidak seperti Jakarta, itu saaaangaaat jaauuhh. Bagaimana dengan Bapak dan Ibu disini ?” kataku yang ragu untuk meninggalkan orangtuaku.
“Kami disini akan baik-baik saja, Bapak juga masih mampu membiayai adikmu. Kamu sudah berhasil melewati cobaan pertamamu, jangan puas dan berhenti disini, kamu harus berjuang lagi untuk kesuksesan yang lebih besar.” Kata-kata Bapak sungguh membuatku terharu hingga meneteskan air mata,
Dan disinilah aku sekarang, di Paris. Aku melanjutkan S2 di Sourbonn University. Inilah hasil dari mimpi, kerja keras, dan do’aku. Benar jika ada yang berkata “Jangan biarkan logika membatasi mimpimu”. Buktinya sekarang, aku yang dulu tidak diijinkan bermimpi tapi tetap memberanikan diri untuk punya mimpi besar, sekarang menjadi sesuatu yang tidak pernah terbayangkan oleh semua orang sebelumnya. Dan kini saatnya aku kembali berjuang untuk pencapaian yang lebih besar.
***

“Woii, ngelamun aja. Kembali ke asramamu yuk !” ajak Keyza mmembuyarkan lamunanku.
“Oke, tapi bantu aku beresin barang-barang ya !” jawabku sambil tersenyum jail.
Keyza pura-pura merengut. Kami pun berjalan menuju halte bus terdekat. Tak lama kami menunggu, bus itu datang juga. Aku menikmati setiap panorama yang nampak di mataku. Kota ini akan menjadi saksi perjuangan hidupku selanjutnya. Aku berusaha untuk mengenali setiap bagian dari kota ini.
Asrama berlantai tiga yang berdiri kokoh di lahan yang cukup luas itulah asramaku. Di depannya terdapat taman bunga nan elok dengan air mancur di tengahnya. Ada juga deretan kursi yang tertata rapi di pinggir taman. Semua penghuni asrama ini adalah mahasiswi dari Sourbonn University, mereka ramah dan menyenangkan, terbukti saat pertama kali aku menginjakkan kaki sini, mereka menyambutku dengan hangat. Mereka pasti akan menjadi keluarga baikku disini.
“Wahh, view dari kamar kamu bagus banget Fi. Pasti kamu bakal betah deh tinggal disini,” kata Keyza dari balkon. Aku bahkan belum melihat-lihat secara detail kamarku ini karena sibuk merapikan barang-barang dalam lemari.
“Iya, bagus banget. Semoga aja ya, tapi aku pasti bakal kangen banget sama kamu Key. Kamu tinggal yang lama aja ya disini !” kataku menghampiri Keyza. Benar juga, kamarku yang terletak di lantai dua ini memang strategis sekali.
“Pengennya sih gitu, tapi kamu tau sendiri kan kuliahku di Indonesia belum kelar-kelar. Tapi tenang aja, liburanku seminggu disini harus kita manfaatkan sebaik-baiknya. Kita akan pergi ke tempat-tempat menarik disini. Oke ?” Jawab Keyza dengan ceria.
We must have a dream. Faith in our dreams, and someday, our rainbow will come smilling through. 