Give Me The Third Chance


        Tak perlu waktu lama bagiku untuk jatuh cinta padanya, namun seabad pun rasanya tak cukup untuk melupakan dia. Aku berharap punya alasan untuk mencintainya, agar saat alasan itu hilang, cintaku juga akan melebur bersamanya. Aku mencintai dia, dulu hingga saat ini. Namun aku berharap dia tidak benar-benar mencintaiku, karena aku tidak mau dia merasakan sakit yang aku derita ini. Cukup aku yang mencintai, cukup aku yang tersakiti, dan cukup aku yang tau semua ini.
                Dua tahun kami terpisahkan oleh jarak, tapi rasa ini masih tetap seperti dulu, masih tetap bergelora di hatiku. Bagaimana kabarnya ? seperti apa dia sekarang ? sudahkah dia temukan bahagianya ? semua itu hanya menjadi tanda tanya untukku. Aku hanya bisa berdiam diri, menunggu sebuah keajaiban yang mempertemukan dua hati ini kembali, walau hanya satu jam saja. Aku hanya ingin melihatnya, mendengar suaranya, meskipun dia tak melihatku dan melupakan diriku.
                “Woii, ngelamun aja ! mikirin Vino ya ?” kata Fanya membuyarkan lamunanku.
                “Hari ini, dua tahun lalu, aku telah membunuh hati seseorang.” Jawabku dengan pandangan menerawang jauh.
        $3B        “Maksud kamu Sebastian, Rin ?” tanya Fanya. Aku hanya mengangguk.
                “Udahlah Arindra, dia itu masa lalu, kamu sekarang punya Vino, masa depan kamu.” Fanya selalu berkata demikian setiap aku menyebut nama Tian. Dia memang tak pernah mengijinkan aku untuk mengingat nama itu lagi.
                “Vino itu sahabatku, Fan. Selamanya juga gitu, gak bakal ada yang berubah !” aku selalu tidak suka jika dia menganggap Vino itu kekasihku.
                “Rin, kamu tau nggak sih, selama ini Vino suka sama kamu. Tapi kamu nggak pernah peduli dengan perasaannya, yang kamu ingat cuma Tian, Tian, dan Tian. Kamu nggak pernah tau gimana sakitnya dia kalau kamu lagi curhat tentang Tian. Tapi dia diem aja, dia sabar dengerin kamu, karena dia cuma pengen liat kamu bahagia. Kurang apa sih Vino ? dia itu lebih segalanya dari Tian. Yang pasti, dia lebih dewasa dari Tian !” cecar Fanya dengan jengkel.
                Memang semua yang dikatakan Fanya benar. Tapi sekali lagi, cintaku pada Tian tak punya alasan, karena itu cintaku masih bertahan hingga saat ini entah sampai  kapan. Selain itu penyesalan dan perasaan bersalahku pada Tian juga membuatku tak bisa memaafkan diriku sendiri apalagi untuk membuka  hati kepada lelaki lain, sekalipun untuk Vino, aku belum bisa.
                Mungkin bagi Tian aku adalah perempuan jahat yang suka mempermainkan perasaan laki-laki. Tapi sebenarnya, aku punya alasan jelas untuk melakukan semua itu. Dia tidak tahu betapa tersiksanya aku untuk berpura-pura tak mencintainya, pura-pura berpacaran dengan temanku, dan melihat dia bersama adikku. Sungguh hari-hari itu sangat menguras air mata.
***
                Sebastian Surya Adikara, dia setahun lebih muda dariku. Dia teman adikku, Arini dan adikku menyukainya. Saat itu, Tian kelas 3 Smp, dia sedang mengerjakan tugas kelompok dengan Arin di rumah. Itu adalah kali pertama aku bertemu Tian, dan aku sudah merasa kalau ada sesuatu yang berbeda dengannya. Kami baru mulai mengenal saat kedua kalinya dia datang ke rumah, Arin mengenalkan dia padaku. Mulai dari perkenalan itu, dia sering datang ke rumah dengan alasan belajar bersama dengan Arin. Entah dari mana Tian tahu nomor ponselku, dan dia mulai sering mengirim pesan-pesan singkat padaku. Semakin lama kami semakin dekat. Sampai Arin bercerita padaku.
                “Mbak, menurut mbak Tian anaknya gimana ?” tanya Arin yang tiba-tiba masuk kamarku.
                “biasa aja,” jawabku singkat.
                “dia itu cowok terkeren di sekolah lho mbak. Udah cakep, pinter, baik, cool, kapten basket pula !” mata Arin terlihat berbinar saat dia menceritakan tentang Tian.
                Aku merasa bersalah sekali pada Arin, selama ini dia tidak tahu kedekatanku dengan Tian. Aku tidak mungkin berebut laki-laki dengan adik kandungku sendiri. Apalagi baru pertama kali ini aku melihat Arin begitu tertarik dengan laki-laki. Tapi selama ini aku juga belum pernah jatuh cinta, dan sekalinya jatuh cinta kenapa harus dengan orang yang sama dengan yang disukai adikku.
                “Rindra, would you be my girlfriend ?” tepat dua tahun yang lalu pertanyaan itu seperti buah simalakama untukku.
Aku benar-benar galau dan dilema saat itu. Di satu sisi, aku tidak mungkin menyakiti hati adikku, tapi di sisi lain,jika aku menolak Tian, aku akan melukai hatinya dan hatiku sendiri. Fanya memintaku untuk jangan melukai perasaan adikku, artinya aku harus menolak dan mengubur cintaku dalam-dalam pada Tian. Vino menyuruhku untuk mendengarkan hati kecilku. Dan akhirnya ide gila itu terbesit di pikiranku, aku akan pura-pura berpacaran dengan Putra, teman sekelasku. Aku pikir dengan sedikit melukai hati Tian, dia akan benci padaku dan segera melupakanku. Dengan demikian, rasa sakit hatinya akan segera hilang dan adikku tidak akan terluka.
“Sorry,aku udah punya pacar, Yan.” Kata-kata itu begitu saja meluncur dari mulutku setelah satu minggu Tian menyatakan perasaannya padaku.
Hati Tian benar-benar hancur saat itu$2C jauh lebih dari yang kuduga. Aku pikir dia cuma anak kecil yang sedang belajar mencintai, dan dia tidak tulus mencintaiku, dia juga tak akan sakit hati sampai seperti itu. Tapi aku salah besar, Tian benar-benar mencintaiku, sangat mencintaiku, dan dia terluka karena kebodohanku.
“Mbak, Tian itu sekarang beda banget deh. Dia jadi pendiem tapi emosian gitu. Kenapa ya Mbak ?” Arin, itu semua karena Mbak. Mbak yang udah menghancurkan hati Tian, mbak yang sudah membunuh hatinya.
Dan hal yang terduga terjadi, Tian membalas dendamnya padaku dengan berpacaran dengan Arin. Aku tidak akan marah kalau dia berpacaran dengan Arin karena tulus mencintainya, tapi kalau dia hanya berniat mempermainkan Arin untuk balas dendam, aku tidak rela. Ada perasaan cemburu juga saat dia bersama wanita lain, apalagi adikku sendiri. Akhirnya hari itu aku nekat menemui Tian.
“Kalau kamu memacari adikku hanya untuk membalaskan dendamu padaku, aku mohon jangan. Hentikan semuanya. Ini semua kesalahanku, harusnya aku menerima semua akibatnya, bukan Arin, jangan libatkan dia !” kataku pada Tian dengan sekuat tenaga menahan air mata, ada rasa rindu yang tiba-tiba menyeruap di hatiku. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya, dan sekarang dia menjadi berantakan.
“Aku hanya sedang berusaha melupakanmu. Tolong  jelaskan kenapa kamu melakukan semua itu padaku ? apa kamu benar-benar tidak memiliki perasaan apa pun untukku ?”tanya Tian dengan ekspresi yang tak bisa kuartikan.
Aku mencintaimu Tian, sangat-sangat mencintaimu. Kamu cinta pertamaku. Meskipun kamu lebih muda dariku, meskipun banyak kekurangmu, namun di mataku kamu begitu sempurna. Kata-kata itu hanya bisa berkecamuk dalam benakku tanpa mampu kuungkapkan dalam lisanku.
 “Tidak, aku tidak pernah mencintaimu. Kamu itu cuma anak kecil yang sangat mudah untuk dipermainkan. Dan jika kamu mau membalasnya, balas saja padaku, jangan pada adikku !” akhirnya jawaban ketus itulah yang keluar dari mulutku. Aku segera berlari meninggalnya karena air mataku sudah tak terbendung lagi. Aku tahu, kata-kata itu pasti sangat menyakitkan untuk Tian. Tapi sebenarnya bukan hanya Tian yang sakit, hatiku juga sangat sakit setelah mengucapkannya.
Setelah pertemuan singkat itu, aku tak pernah bertemu dan berhubungan lewat sms maupun telpon lagi dengan Tian, hingga saat ini. Tak lama setelah itu, dia juga memutuskan Arin, dengan alasan akan melanjutkan Sma-nya di Jogja, dan tidak bisa melanjutkan hubungan jarak jauh. Arin tidak terlalu bersedih setelah putus dengan Tian, sampai sekarang dia juga tidak tau hubunganku yang sebenarnya dengan Tian.
***
Aku rasa sudah saatnya aku membuka diri untuk Vino. Dia yang selalu ada untukku, menemaniku melewati masa-masa sulit setelah aku yang bodoh ini menyakiti hati Tian dan hatiku sendiri. Selama ini Vino selalu setia bersamaku sampai dia tidak pernah dekat dengan perempuan manapun, meskipun banyak yang mendekatinya. Aku yang terlalu egois, memikirkan kesedihanku sendiri sampai aku tidak sadar ada lelaki yang begitu baik dan peduli padaku.
Tuhan memberiku kesempatan kedua untuk kembali belajar mencintai, Dia mengirimkan Vino padaku sebagai pengganti Tian. Vino yang memang jauh lebih baik dan dewasa dari Tian. Banyak alasan yang membuat semua perempuan suka dengan Vino, tapi yang kubutuhkan bukan alasan, aku hanya butuh cintaku untuknya. Tapi jauh di lubuk hatiku, hanya rasa sayang sebagai sahabat yang kurasakan pada Vino. Seperti halnya rasa sayangku pada Fanya.
Aku terus belajar untuk mencintai Vino, dan akhirnya aku mulai menyukainya. Hubungan kami sekarang lebih dari sekedar sahabat. Aku jadi ketergantungan padanya, selalu mengharap kehadirannya, dan selalu menunggu pesan darinya.  Dia jadi berarti untukku. Dan aku telah memberikan harapan lebih padanya.
Bip bip..
Sebuah pesan dari nomor tak dikenal masuk ke ponselku.
-Aku tunggu di depan taman dekat rumahmu sore ini jam 3.
-Siapa ? balasku, namun tak ada balasan lagi dari orang itu.
Aku menyampaikan hal itu pada Fanya dan Vino, mereka menyuruhku untuk menemui orang itu. Vino yang akan menemaniku, karena Fanya ada les sore nanti. Aku sangat penasaran, perasaanku juga tidak enak. Bolak-balik aku melihat jam tanganku. Sekolah berakhir pukul 14.00, masih ada waktu satu jam untukku menunggu. Vino mengajakku jalan-jalan terlebih dahulu. Dia memboncengku dengan motor maticnya, entah kenapa saat bersama Vino aku selalu merasa aman dan bahagia, namun jantungku juga bedebar tak karuan. Mungkinkah aku benar-benar jatuh cinta pada sahabatku ini.
 Pukul 15.00, waktunya tiba. Aku dan Vino segera menuju ke taman setelah jalan-jalan bersama. Aku meminta Vino untuk menunggu di motor saja. Aku harus berulang kali meyakinkannya, karena dia bersikukuh untuk menemaniku, takut terjadi sesuatu padaku. Setelah dengan susah payah membujuknya, akhirnya dengan berat hati dia mengijinkanku pergi sendiri.
Di taman, aku melihat seorang laki-laki bertubuh jangkung dengan rambut cepak dan berkulit putih bersih sedang memunggungiku, entah apa yang sedang dia amati. Dia mengenakan jaket putih dan celana jeans hitam. Sepertinya aku pernah melihat sosok itu. Aku semakin penasaran, dan segera mendekatinya.
“Maaf,apakah kamu yang mengirim sms ke saya tadi ?” tanyaku gugup.
Laki-laki itu menoleh, dan hal yang sangat tak terduga. Dulu, sebelum aku memberi harapan pada Vino, aku sangat ingin bertemu dengan orang ini lagi, walau satu jam saja, walau ia tak melihatku dan sudah melupakanku. Tapi sekarang dia adalah orang yang paling tak ingin aku temui, karena pasti akan membuat aku kembali ragu pada perasaanku terhadap Vino dan akhirnya akan melukai perasaan Vino.
“Hai, Arindra !” sapa lelaki itu dengan senyum manis yang masih melelehkan hatiku.
“Emmm, hai juga Tian. Ka.. kamu kok bisa ada disini ?” tanyaku yang kentara sekali canggung.
“Sekolahku lagi libur, jadi aku liburan ke Malang untuk beberapa waktu.” Jawab Tian tanpa mengurangi kadar senyumnya.
Aku mencoba untuk bersikap biasa, meskipun pikiranku berkecamuk hebat. Kami mulai mengobrol apa saja yang sekiranya tidak menyinggung yang lalu. Tian sudah berubah, dia sekarang lebih dewasa, menyenangkan, dan … keren, ku akui itu.
“Lama a..” kalimat Vino terhenti saat melihat orang yang duduk di sebelahku menoleh ke arahnya.
“Eh, maaf ya Vin. Kenalin ini Tian, temennya Arin.” Kataku pada Vino yang masih memperhatikan Tian. Sebenarnya Vino sudah tau kalo itu Tian yang dulu sering aku tangisi, tapi nggak mungkin aku bicara seperti itu di depan Tian. Lagian Tian juga nggak tau kalau itu Vino sahabatku. Tian terlihat kaget dengan kalimatku tadi, mungkin saat aku mengatakan “teman Arin”.
“Hai, kenalin aku Tian !” sapa Tian sembari mengulurkan tangannya.
“ Vino” jawab Vino singkat sambil menjabat tangan Tian dengan senyum dipaksakan.
Aku segera berpamitan pada Tian, aku tidak mau berlama-lama dengannya lalu kembali mengungkit kenangan lama. Ternyata rasa itu masih ada, aku masih mencintai Tian. Tapi aku tidak mau terlalu berharap untuk bisa kembali dengannya.
Vino membisu selama mengantarku pulang. Apa yang salah dengannya ? kenapa dia jadi aneh ? Apa dia cemburu melihat aku dan Tian ? Tepat seperti dugaanku, aku benar-benar dilema. Aku masih mencintai Tian, lalu bagaimana dengan Vino ?
***
                Semenjak pertemuanku dengan Tian, dia mulai sering menghubungiku lagi, kami juga sering jalan bersama.  Tapi sikap Vino juga aneh, dia seperti jaga jarak denganku, dia jadi lebih sering berkumpul dengan gengnya. Setiap aku bertanya pada Vino, dia selalu bilang tidak ada apa-apa, Fanya juga tidak tahu ada apa dengan Vino. Aku jadi serba salah.
                “Vin, kamu kenapa sih ? ngomong dong kalau aku punya salah, jangan diem terus kayak gini !” kataku pada Vino saat di perpustakaan. Tapi Vino masih tetap membisu.
                “VIN !,” dengan tidak sabar aku membentaknya, diikuti oleh omelan penjaga perpustakaan dan menjadi perhatian para siswa lain.
                Vino segera menyeretku keluar perpustakaan menuju ke lorong sebelah perpustakaan.
                “Aku suka sama kamu, Rin. Aku sayang sama kamu, dari dulu sejak pertama kali kita kenal. Dan aku pikir kamu juga mencintaiku setelah Tian pergi dari hidup kamu. Tapi sekarang Tian kembali lagi, dan aku tau kamu masih sangat mencintainya. Aku bisa lihat itu dari mata kamu. Dan aku berusaha ngejauhin kamu untuk membunuh rasa cintaku ini, sudah terlalu lama aku tersiksa dengan cinta tak berbalas ini. Dan aku kecewa karena kamu telah memberikan harapan palsu padaku, kamu udah mempermainkan perasaanku, “ kalimat itu seperti mencekik leherku, suaraku tercekat, dan aku tak mampu berkata apa-apa, sampai Vino pergi meninggalkanku sendiri.
                Kini aku benar-benar kehilangan Vino, sahabatku. Dia telah menjauh dariku, seperti tak mengenalku lagi. Berulang kali aku mencoba untuk menjelaskan, tapi dia selalu menghindar. Aku tak tahu harus berbuat apa lagi. Aku berharap kami bisa kembali bersahabat seperti dulu. Tapi sepertinya tak mungkin lagi, dia membenciku. Memang salahku telah mempermainkan hatinya hanya untuk melupakan Tian.
                Tian sekarang juga jarang sekali menghubungiku lagi. Dia sudah kembali ke Jogja beberapa hari yang lalu. Aku mencoba menelponnya, karena tak kunjung ada kabar darinya.
                “Halo !” terdengar suara perempuan dari seberang sana.
                “Ini bener nomornya Tian kan ?” tanyaku memastikan aku tidak salah telpon.
                “Iya, kamu siapa ya ?” perempuan itu balik bertanya. Aku mulai panik, siapa wanita itu ?
                “Ini Rindra, temennya Tian di Malang. Maaf, saya sedang berbicara dengan siapa ya ?” tanyaku lagi.
                “Ini Luna, pacarnya Tian,” segera kutekan tombol off. Langit seperti runtuh, tubuhku terasa kebas, aku*berusaha mencerna apa yang baru saja aku dengar. Tian punya pacar ? kenapa dia tidak pernah mengatakannya padaku ? kenapa selama ini dia memberi harapan lagi padaku ? apa maksudnya semua ini ?
                Ternyata Tian hanya ingin membalas dendam padaku. Aku pikir dia masih mencintaiku seperti aku mencintainya. Tapi rasa cintanya kini telah berubah menjadi kebencian yang mendalam. Aku memang pantas untuk mendapatkan semua ini, aku tahu betapa sakitnya hati Tian karena perlakuanku dulu. Sampai saat ini, dia tidak tahu alasan aku melakukannya, dia tidak tahu bahwa adikku benar-benar mencintainya, jadi sudah sewajarnya kalau dia membenciku.
                Penyesalan mendalam sedang menggelayuti hatiku, aku telah melepaskan Vino yang begitu sempurna untuk cinta lama yang ternyata hanya mempermainkanku saja. Aku telah salah mengambil keputusan. Kini tak ada lagi cinta, tak ada lagi persahabatan, tak ada lagi penantian. Aku telah kehilangan dua orang yang berarti dalam hidupku, cinta dan sahabat.
                Ohh God, please give me the third chance, to love the true person !