Ijinkan Aku Bermimpi

“Key, kamu tau nggak, dulu bermimpi untuk sampai kesini saja aku tak berani. Tapi sekarang kita bisa berdiri disini. Ini luar biasa !” kataku pada Keyza, sembari mendongak menatap menara Eiffel yang menjulang dengan kokohnya.
“Inilah hasil dari jerih payahmu, Fi.” Jawab Keyza yang juga terlihat sedang mengagumi menara Eiffel.
Kupenjamkan mata dan kuhirup udara dalam-dalam. Jadi inikah aroma kesuksesan itu ? Saat kita telah berusaha sekuat tenaga dan berhasil menggenggam angan kita , beginilah rasanya. Indahnya luar biasa. Hanya air mata kebahagiaan yang bisa mengungkapkan betapa aku bersyukur atas semua pencapaian ini. Terimakasih Tuhan, Engkau telah membantuku melewati fase-fase tersulit dalam hidupku itu, Saat semua orang mencibirku, mengabaikanku, dan meninggalkanku,hanya Tuhan yang setia menemaniku.
Suasana menara Eiffel di musim panas yang penuh dengan pengunjung, memberikan kesan tersendiri untukku. Meskipun kami tak bisa naik ke puncak karena antrian yang sangat panjang, aku tak terlalu kecewa, karena masih banyak kesempatan untuk kemari lagi. Rumput hijau yang subur dan terpotong rapi seperti melambaikan tangannya padaku, memintaku untuk berbagi kebahagiaan yang tengah kurasakan. Duduk di atas rumput sembari menikmati indahnya menara Eiffel, sungguh menyenangkan. Aku merasa semua kepenatan hidupku telah menguap hingga tak tersisa. Ringan sekali.
Namun ketenanganku tidak berlangsung lama karena tiba-tiba kenangan lama itu muncul kembali…

***

“Oalah nduk, nduk. Kamu itu jangan mimpi, disesuikan saja dengan kenyataan yang ada”, kata bapak saat aku mengatakan tentang keinginanku untuk kuliah di Jakarta.
“Tapi aku juga ingin punya mimpi seperti teman-temanku yang lain, pak. Aku ingin kuliah biar jadi orang sukses,” yakinku pada Bapak.
“Biayanya lo nduk dari mana ?” Tanya bapak.
“Aku bisa cari beasiswa dan kuliah sambil kerja, Pak” yakinku lagi.
“Sudahlah berhenti bermimpi. Lihat itu tetangga-tetangga kita yang jadi sarjana, mereka sekarang kerjanya jadi apa ? Akhirnya jadi petani juga kan ! Lalu buat apa kuliah kalau hasilnya cuma jadi petani gitu ? Buang-buang uang saja. Mending kamu bantu bapak jaga toko saja, lebih jelas itu hasilnya !” terang Bapak.
“Nggak pak, aku mau merubah hidupku, aku mau jadi orang sukses. Aku mohon pak, ijinkan aku bermimpi, agar aku punya ambisi untuk mencapai mimpi itu,” kataku tidak terima dengan keputusan bapak.
“Udahlah pak, Fira itu terlalu idealistis. Ntar juga tau sendiri akibatnya, dia sendiri juga yang merasakannya nanti.” Timpal ibu dari dapur.
Malam itu rasanya semua anganku telah terhempas. Bermimpi untuk kuliah pun aku tak diijinkan. Bukankah hidup berawal dari mimpi ? lalu jika bermimpi saja aku tak boleh, untuk apa aku melanjutkan hidup ini ? Buat apa juga selama ini orangtuaku selalu menyekolahkanku ke sekolah favorit kalau hasilnya aku tak boleh kuliah ? aku tahu kondisi ekonomi keluargaku memang pas-pasan, tapi banyak kok alumni-alumni SMAku yang keluarganya jauh lebih tidak mampu dariku, tapi mereka bisa kuliah hingga jadi orang sukses dengan bermodalkan dukungan penuh dari orangtua. Setidaknya itu yang aku harap, Bapak dan Ibu mengijinkanku untuk bermimpi dan mengejar mimpi itu bagaimanapun caraku. Ini hidupku, masa depanku ada di tanganku, dan tidak ada seorangpun yang berhak merusaknya.
Saat itu ujian akhir nasional sudah dekat, tapi bahkan aku belum memutuskan mau kemana setelah lulus SMA nanti. Beruntung aku punya Keyza, sahabatku sejak SMP. Dia yang selalu memotivasi aku untuk memperjuangkan masa depanku. Dia menawariku untuk kuliah bersama di Jakarta dan tinggal di rumah Bibinya. Aku benar-benar dilema, apakah aku harus melawan orangtuaku demi memperjuangkan masa depanku ? hari-hari, minggu-minggu, dan bulan-bulan itu aku sungguh dirundung kegalauan, antara mimpi dan orang tua.
Akhirnya setelah kelulusan, aku memutuskan untuk ikut Keyza ke Jakarta. Saat aku mengatakannya pada Bapak dan Ibu, mereka sangat marah dan mengatakan aku anak durhaka. Tapi tekadku sudah bulat, aku akan menuntut ilmu di Jakarta dengan bekal uang tabunganku yang sangat minim.
Sampai di Jakarta aku mulai mencari pekerjaan dan tempat kost, sebelum tes masuk universitas dimulai. Aku tidak mungkin terus-menerus menumpang pada Bibi Keyza yang memang orang berada itu. Setelah tiga hari menginap di rumah Bibi Keyza, akupun mendapatkan tempat kost di dekat kampus yang aku menjadi tujuan utamaku itu, dengan uang tabunganku yang pas-pasan. Keyza sempat mencegahku, tapi aku tetap keukeuh pada pendirianku untuk tidak menyusahkan orang lain. Dan akhirnya aku mendapat pekerjaan sebagai kasir di sebuah supermarket di siang hari dan menjadi pelayan restaurant di malam hari. Aku juga menyempatkan diri untuk belajar disela-sela pekerjaanku. Dan yang pasti, tak ada henti-hentinya aku berdo’a pada Tuhan agar memberikanku kemudahan dalam perjuanganku ini.
Inilah fase terberat dalam delapan belas tahun hidupku. Aku baru merasakan jauh dari orang tua, susahnya mencari uang, dan hati yang dipenuhi kekhawatiran akan hidupku di hari esok. Bagaimana kalau akhirnya aku gagal masuk ke universitas yang aku inginkan itu ? dan aku kembali ke pangkuan orangtuaku tanpa hasil apapun, betapa malunya aku jika hal itu sampai terjadi. Penyesalan karena tidak mengikuti perintah orangtua terkadang menghampiriku. Tapi dengan segera kuhapuskan semua pikiran itu. Ini baru langkah awal untuk menggapai mimpiku, aku harus kuat sampai langkah akhir.
Akhirnya tes itupun datang juga, aku sempat pesimis karena aku tidak mengikuti bimbingan belajar seperti yang lain. Tapi Tuhan menjawab do’aku, sebuah mukjizat karena aku dapat lolos tes dan diterima di fakultas hukum universitas yang aku inginkan itu. Keyza juga diterima di universitas yang sama di fakultas ekonomi. Segera ku telpon orangtuaku yang ada di Semarang. Amarah mereka telah berganti dengan kekhawatiran yang mendalam, aku bilang pada mereka bahwa aku hidup tenang disini. Sengaja tak kuceritakan tentang perjuangan dan kerja kerasku, aku tidak mau membuat orangtuaku lebih khawatir, biar mereka fokus mengurus adikku yang sekarang baru masuk Smp. Aku pasti bisa mengurus hidupku sendiri. Aku harus mandiri, itu yang selalu kutekankan pada diriku.
Beban dihatiku sedikit berkurang setelah aku lolos test itu, tapi kekhawatiran lain muncul. Bagaimana aku membayar biaya kuliah ? untuk membiayai hidup sehari-hari saja aku masih kelimpungan, gajiku juga tidak cukup untuk biaya masuk kuliah. Dan lagi-lagi, Keyza menjadi malaikat penolongku, dia mencarikan beasiswa untukku, tinggal aku mengikuti test. Tuhan benar-benar menolongku, Dia mengijikan aku menerima beasiswa itu dan akupun bebas dari biaya kuliah sampai semester satu selesai.
Aku benar-benar berusaha keras, pikiranku hanya focus pada kuliah dan pekerjaanku. Aku benar-benar berambisi untuk lulus sesegera mungkin. Kuliah sambil kerja sangatlah tidak mudah, apalagi aku juga tidak punya sarana yang cukup untuk menyelesaikan tugas kuliah. Setiap hari aku harus ke warnet, dan untuk itu aku harus mengurangi jatah makanku menjadi makan sekali sehari. Namun akhirnya, dalam kurun waktu 2,5 tahun aku berhasil menyelesaikan S1. Bahkan aku mendapat tawaran beasiswa S2 ke Pais, Prancis. Aku bebas dari biaya kuliah, mendapat asrama, bahkan mendapat dana untuk ke Paris ditambah dengan pesangonnya. Benar-benar hal yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.
Sebelum memutuskan untuk menerima beasiswa itu atau tidak, aku ingin pulang ke Semarang terlebih dahulu. Selama 2,5 tahun aku hanya berhubungan dengan orangtua dan adikku melalui telpon saja. Aku tidak punya cukup biaya untuk pulang selama liburan, alhasil aku menambah pekerjaanku disaat teman-teman yang lain bisa berkumpul dengan keluarganya di kampung halaman. Dengan pekerjaan itu, lumayan aku bisa sedikit menabung untuk pulang ke Semarang.
Bapak, Ibu, dan Surya, adikku, menyambut kedatanganku di terminal. Rasa rinduku sudah memuncak, kupeluk mereka erat-erat. Bapak dan Ibu sangat bangga dengan pencapaianku. Mereka juga meminta maaf atas kesalahannya dulu yang tidak mengijinkanku bermimpi, dan tidak dapat hadir dalam wisudaku karena kondisi ekonomi yang sedang memburuk. Aku juga meminta saran pada Bapak dan Ibu tentang beasiswa ke Paris itu, dan mereka begitu bahagia mendengarnya, bahkan Ibu sampai menangis memelukku. Mereka menyuruhku untuk segera menerima beasiswa itu. Sungguh bahagia rasanya bisa melihat Bapak dan Ibu tersenyum bangga padaku.
“Tapi Pak, Bu, Paris itu tidak seperti Jakarta, itu saaaangaaat jaauuhh. Bagaimana dengan Bapak dan Ibu disini ?” kataku yang ragu untuk meninggalkan orangtuaku.
“Kami disini akan baik-baik saja, Bapak juga masih mampu membiayai adikmu. Kamu sudah berhasil melewati cobaan pertamamu, jangan puas dan berhenti disini, kamu harus berjuang lagi untuk kesuksesan yang lebih besar.” Kata-kata Bapak sungguh membuatku terharu hingga meneteskan air mata,
Dan disinilah aku sekarang, di Paris. Aku melanjutkan S2 di Sourbonn University. Inilah hasil dari mimpi, kerja keras, dan do’aku. Benar jika ada yang berkata “Jangan biarkan logika membatasi mimpimu”. Buktinya sekarang, aku yang dulu tidak diijinkan bermimpi tapi tetap memberanikan diri untuk punya mimpi besar, sekarang menjadi sesuatu yang tidak pernah terbayangkan oleh semua orang sebelumnya. Dan kini saatnya aku kembali berjuang untuk pencapaian yang lebih besar.
***

“Woii, ngelamun aja. Kembali ke asramamu yuk !” ajak Keyza mmembuyarkan lamunanku.
“Oke, tapi bantu aku beresin barang-barang ya !” jawabku sambil tersenyum jail.
Keyza pura-pura merengut. Kami pun berjalan menuju halte bus terdekat. Tak lama kami menunggu, bus itu datang juga. Aku menikmati setiap panorama yang nampak di mataku. Kota ini akan menjadi saksi perjuangan hidupku selanjutnya. Aku berusaha untuk mengenali setiap bagian dari kota ini.
Asrama berlantai tiga yang berdiri kokoh di lahan yang cukup luas itulah asramaku. Di depannya terdapat taman bunga nan elok dengan air mancur di tengahnya. Ada juga deretan kursi yang tertata rapi di pinggir taman. Semua penghuni asrama ini adalah mahasiswi dari Sourbonn University, mereka ramah dan menyenangkan, terbukti saat pertama kali aku menginjakkan kaki sini, mereka menyambutku dengan hangat. Mereka pasti akan menjadi keluarga baikku disini.
“Wahh, view dari kamar kamu bagus banget Fi. Pasti kamu bakal betah deh tinggal disini,” kata Keyza dari balkon. Aku bahkan belum melihat-lihat secara detail kamarku ini karena sibuk merapikan barang-barang dalam lemari.
“Iya, bagus banget. Semoga aja ya, tapi aku pasti bakal kangen banget sama kamu Key. Kamu tinggal yang lama aja ya disini !” kataku menghampiri Keyza. Benar juga, kamarku yang terletak di lantai dua ini memang strategis sekali.
“Pengennya sih gitu, tapi kamu tau sendiri kan kuliahku di Indonesia belum kelar-kelar. Tapi tenang aja, liburanku seminggu disini harus kita manfaatkan sebaik-baiknya. Kita akan pergi ke tempat-tempat menarik disini. Oke ?” Jawab Keyza dengan ceria.
We must have a dream. Faith in our dreams, and someday, our rainbow will come smilling through. 

Sahabat dalam Angan

Seseorang pernah berkata padaku, Tuhan menciptakan segala sesuatu pasti ada tujuannya, dan Tuhan menciptakan aku disini untuk membuatmu yakin bahwa sahabat sejati itu ada, bukan sekedar dalam anganmu saja. Kalimat sederhana itu masih terngiang jelas di benakku, bahkan telah kuukir di hatiku. Awalnya aku tidak bisa terima kepergiannya, aku marah padanya yang seenaknya saja datang dan pergi dari kehidupanku, aku marah pada diriku sendiri yang begitu saja membuka hati untuknya, dan aku marah pada Tuhan yang telah mengirim dia padaku. Kenapa aku harus mengenalnya jika pada akhirnya aku harus kehilangan dia ? Hanya kalimat sederhana itu yang mampu membuka logika dan mata hatiku, bahwa aku harus merelakan dia, bahwa Tuhan mengambilnya karena tugasnya sudah selesai. Dia telah meyakinkanku bahwa sahabat itu benar-benar ada, dia telah mengajariku bahwa aku bukan orang yang paling menyedihkan di dunia ini, tapi aku adalah orang paling beruntung karena pernah mengenal dan bersahabat dengannya.
***
3 tahun lalu…
Saat itu aku yang masih kelas satu sma, aku sedang menangis di lorong kecil dekat perpustaan sekolah, aku tidak sadar bahwa ada seseorang yang telah mengamatiku sedari tadi. Dia menghampiriku dan memberikan sapu tangannya. Aku tidak berani menatap wajahnya, aku hanya mengamati tangannya yang menyerahkan sapu tangan. Tangan itu terlihat seperti tangan malaikat di mataku.Baru kali ini ada seseorang yang peduli padaku. Selama ini, hampir setiap hari aku bersedih dan menangis, tapi tak pernah sekalipun ada yang peduli kepadaku. Dan saat ini, seorang malaikat tengah berdiri memberikan sapu tangannya padaku.
Aku memberanikan diri mendongakkan kepala untuk melihat wajahnya. Dia benar-benar malaikat tampan yang dikirim Tuhan untukku. Dia tersenyum ramah padaku, senyum menular yang membuat orang lain ikut tersenyum. Tapi egoku mengingatkanku, Dia orang baru, kamu bahkan belum mengenalnya. Jangan telalu mudah baik padanya. Orang yang sudah lama kamu kenal saja selalu menyakitimu, apalagi dia, orang baru itu. Jangan tertipu oleh senyum palsunya itu !
Aku berlari meninggalkannya, hatiku masih belum bisa percaya akan kebaikan orang lain. Selama ini aku selalu sendiri, aku tidak percaya pada orang lain. Bagiku, kesedihanku cukup aku saja yang tau, tak pernah aku biarkan orang lain mencampuri urusanku. Keesokan harinya aku kembali menangis di tempat itu, dia kembali datang, lalu aku pun pergi meninggalkannya. Begitu seterusnya hingga seminggu berlalu. Akhirnya, aku menyerah dan meberanikan diri untuk mengenal orang itu.
Malaikat itu bernama Daniel Wira Atmadja, dia anak baru pindahan dari Jakarta, pantas saja aku tidak pernah melihat dia sebelumnya. Dia. Awal percakapan kami itu diisi dengan obrolan-obrolan ringan seputar sekolah kami. Dia juga bercerita tentang rasa penasarannya padaku saat pertama kali ia masuk sekolah dan melihat aku menangis di lorong. Tiga hari setelah itu baru ia berani menghampiriku untuk memberikan sapu tangan. Aku belum berani bercerita tentang alasanku menangis, tentang kehidupanku selama ini.
Berminggu-minggu kami bersama, aku mulai mengenalnya. Dia selalu menemaniku menangis, dia hanya diam berdiri di , menunngu sampai aku berhenti menangis. “Menangislah hanya jika aku ada di sampingmu”, begitu katanya setiap kali aku selesai menangis. Kemudian kami pulang bersama, dia memboncengku dan mengantarkan aku pulang sampai depan rumah. Jarak rumah kami tidak terlalu jauh, jadi setiap hari kami berangkat dan pulang sekolah bersama, dan semenjak aku mengenalnya, intensitas menangisku jadi berkurang.
Hari itu sepulang sekolah, saat kami sedang bermain ayunan di tama, tiba-tiba dia bertanya padaku, “apakah kamu sudah mau berbagi kesedihanmu padaku ? aku tak sanggup melihatmu terus memendam kesedihanmu sendiri”. Aku rasa, ini saatnya aku membuka hatiku pada orang lain, aku harus mulai percaya pada orang lain. Aku tidak bisa terus-menerus terpuruk dalam kesedihanku sendiri. Akhirnya aku mengangguk pelan. Saat aku mulai membuka mulut untuk berbicara, dia malah menghentikanku dan berkata, “Sebentar, tunggu disini dulu. Aku akan pergi sebentar !” dia meletakkan kamera CRL yang selalu menggantung di lehernya dan segera berlari menuju entah kemana. Aku benar-benar bingung, dia yang menyuruhku bercerita, tapi dia juga yang meninggalkanku. Namun aku memutuskan untuk menunggunya.
Tak lama kemudian dia datang dengan wajah bersimbah peluh, bajunya basah oleh keringat, dengan napas tersengal-sengal dia berkata padaku “Ini untukmu, ceritalah sambil makan es krim ini, supaya kesedihanmu berkurang !” katanya sambil menyerahkan es krim cornello rasa cokelat kesukaanku. “Terimakasih”, jawabku sambil tersenyum simpul, masih bingung dengan apa yang barusan dilakukannya. Makhluk macam apa dia itu ? Kenapa dia begitu baik padaku ? Aku baru mengenalnya dua minggu, tapi rasanya aku sudah mengenalnya bertahun-tahun. Hatiku semakin yakin, bahwa dia adalah makhluk bernama sahabat itu.
Aku mulai bercerita tentang orangtuaku yang setiap hari selalu bertengkar tak ada habisnya, tentang Kakak laki-lakiku yang pergi dari rumah karena tak tahan dengan kelakuan orangtua kami. Betapa tersiksanya tinggal di rumah yang seperti neraka itu. Aku juga bercerita tentang sahabat kecilku yang pergi tiba-tiba 3 tahun yang lalu, saat aku terpuruk dengan kehidupan keluargaku. Aku butuh teman untuk berbagi cerita, teman untukku bersandar, tapi tak pernah ada orang di sisiku. Aku selalu sendiri dan aku tidak pernah lagi percaya pada sahabat. Selama tiga tahun ini, aku memendam semua penderitaanku sendiri.
Daniel menyimak ceritaku dengan penuh perhatian, sesekali dia mengangguk dan bergumam*mengerti. Dengan sabar dia mendengarkan aku sampai selesai bicara. “Kamu tau, ada dua hal yang membuatku menangis. Yang pertama karena aku mengasihani diriku, dan yang kedua karena aku takut kehilangan orang-orang yang aku sayangi”, kataku di akhir cerita. Hebatnya aku tidak meneteskan air mata sedikitpun, padahal selama ini, mengingatnya saja aku sudah menangis. Ini semua berkat es krim yang diberikan Daniel, dia selalu tahu apa yang aku butuhkan.
“Cobalah kamu membuka mata hatimu, lihat sekelilingmu, masih banyak di luar sana orang yang hidupnya jauh lebih menderita darimu. Jadi jangan pernah mengasihani dirimu yang sebenarnya termasuk orang yang beruntung. Dan berbahagialah orangtuamu masih bisa bertengkar, karena terkadang pertengkaran itu adalah tanda bahwa mereka masih peduli dan saling mencintai ! Kamu juga jangan takut mereka yang kamu sayangi pergi, mereka masih ada di dunia ini, tunjukkan kasih sayangmu pada mereka agar mereka tau betapa kamu sangat menyayangi mereka !” nasehat Daniel padaku.
Aku mulai mencerna perkataan Daniel, benar katanya, selama ini aku terlalu menutup diri dan sibuk mengasihani diriku sendiri. “Benar katamu. Aku akan berubah, aku akan bangkit dari keterpurukanku ! Aku bukan lagi Nathaya yang lemah!” kataku dengan keyakinan penuh. Daniel tersenyum sambil mengacak-acak rambutku yang tertata rapi. Aku mencibir dan pura-pura sebal. “Tha, kamu tau nggak kenapa Tuhan menciptakan aku ?” pertanyaan itu sungguh aneh. Aku mengerutkan dahi dan menggeleng.
“Tuhan menciptakan segala sesuatu pasti ada tujuannya, dan Tuhan menciptakan aku disini untuk membuatmu yakin bahwa sahabat sejati itu ada, bukan sekedar dalam anganmu saja
“, aku seperti melambung mendengarnya. Kalimat itu lebih terdengar seperti sebuah janji untukku. Tuhan memang adil, saat aku kehilangan sahabat kecilku, Dia menggantikannya dengan sahabat baru yang jauh lebih baik. Seulas senyum tersungging dari bibirku.
Aku menoleh pada Daniel yang sedang mengutak-atik kameranya. Aku baru menyadari kalau kamera itu selalu tergantung di leher Daniel.
“Kenapa kamu selalu membawa kamera kemana-mana ?”tanyaku penasaran.
“Karena waktu itu tidak dapat diulang kembali, aku tidak mau melupakan momen sekecil apapun dalam hidupku. Setiap peristiwa dalam hidupku terlalu indah untuk dilupakan, sekecil apapun itu.” Jelas Daniel dengan senyum yang menghanyutkan.
“Boleh aku lihat ?” pintaku.
“Jangan dulu deh, suatu hari ini pasti aku akan menunjukkannya padamu.” Jawab Daniel yang membuatku kecewa.
“Bagaimana kalau kita berfoto bersama ?” ajak Daniel sambil menarik tanganku membantuku berdiri. Kami berfoto dengan berbagai pose, mulai dari yang tanpa ekspresi sampai yang alay.
Semenjak hari itu, hidupku berubah. Aku yang sekarang bukan Nathaya Abella yang selalu murung seperti dulu. Daniel telah membuat hidupku penuh warna. Semakin hari kami semakin tak terpisahkan.
***
Aku beranjak dari tempat dudukku, menuju meja belajar. Kubuka laci meja belajar, ada sebuah benda yang sangat berharga untukku, sebuah album foto dari seseorang yang pernah hadir dalam hidupku. Aku masih ragu untuk membuka kenangan lama itu kembali. Akhirnya memutuskan untuk membukanya di balkon saja.
“Paper kamu udah selesai Tha ?” Tanya Kinar, teman kuliahku, saat aku melewatinya dan teman-teman kost yang lain di ruang bersama.
“Udah kok, Nar,” jawabku dengan tersenyum simpul. Dan melanjutkan langkahku menuju balkon.
Kubuka album itu perlahan. Ini kali kedua aku membukanya setelah dua tahun lalu Mbak Ririn, saudara Daniel, memberikannya padaku. Halaman demi halaman kubuka, kuamati satu demi satu foto yang ada. Album itu penuh dengan foto diriku dengan berbagai ekspresi, beberapa juga ada fotoku bersama Daniel, teman-teman, dan keluargaku. Hampir sebagian besar foto di album itu, aku tidak mengetahui kapan saat pengambilan gambarnya. Yang unik, di setiap bagian bawah foto selalu ada tulisan tangan Daniel.
Diantara foto-foto itu, ada beberapa foto yang sangat berkesan untukku, diantaranya gambarku yang sedang menangis di lorong sekolah, itu saat pertama kalinya Daniel melihatku. Di bawah foto itu ada tertulias sebuah kalimat, “Pertama kali aku melihatnya, aku seperti melihat diriku sendiri”. Kemudian ada fotoku yang sedang tertawa lebar saat bermain di taman bersama Daniel, dibawahnya bertuliskan ‌Hal yang paling membuatku bahagia adalah semua hal yang membuat Thaya tersenyum bahagia”. Ada juga fotoku yang sedang menangis setelah pemakaman Mas Bian, kakak kandungku yang meninggal akibat overdosis, “Hal yang paling aku benci di dunia ini adalah semua hal yang membuat Thaya menangis” begitu yang tertulis di bawahnya. Saat aku melihat halaman berisikan foto-foto ulang tahunku ke 17, pikiranku kembali melayang ke dua tahun silam.
***
Malam itu saat aku baru pulang dari rumah seorang temanku, aku heran melihat kondisi rumah yang gelap gulita. Aku sudah berpikiran macam-macam, aku berpikir kalau mama dan papa pergi dari rumah. Hatiku tak tenang, apalagi Mas Bian baru saja meninggal. Aku membuka pintu dengan hati berdebar-debar tak karuan.
“SURPRISEE !!!” aku kaget sekali, begitu banyak orang di rumah. Ada teman-teman sekelasku, dan yang special, papa merangkul pundak mama yang sedang memegang kue ulang tahun. Dan surprise party itu tak akan terlupakan seumur hidupku, mama dan papa yang kembali bersatu. Ternyata semua itu dipersiapkan oleh Daniel, entah apa yang dia lakukan sampai mama dan papa bisa rukun lagi hingga saat ini. Daniel ohh Daniel, dia benar-benar malaikatku. Sayang sekali Mas Bian pergi terlebih dahulu sebelum melihat keluarga kami utuh kembali.
Dua bulan setelah ulang tahunku, hal yang sangat tak terduga terjadi. Aku harus kembali kehilangan orang yang aku sayangi. Aku tak menyangka Daniel pergi secepat itu. Memang selama satu minggu dia di rawat di rumah sakit karena kelainan jantung yang dideritanya sejak kecil. Tetapi kondisinya sudah membaik bahkan dia sudah meninggalkan rumah sakit dan bisa bermain lagi denganku. Sampai siang itu, Mbak Ririn menelponku, memberitahu kabar mengejutkan itu. Mendengar bahwa Daniel di rawat di rumah sakit saja aku kaget setengah mati, pasalnya selama ini aku tidak tahu kalau Daniel punya penyakit separah itu, apalagi tiba-tiba aku mendapat berita mengejutkan tentang kematian Daniel. Rasanya langit runtuh dan duniaku hancur seketika itu juga.
Padahal baru setahun kami bersama, aku baru saja menemukan kebahagiaanku, dan sekarang aku kembali dihadapkan pada cobaan yang menguras habis air mataku. Dulu sebelum dia datang, dunia ini terasa kelabu untukku, dan kemudian dia datang membawa sinarnya yang menjadi penerang disetiap langkahku. Lalu saat penerang itu telah pergi, akankah duniaku menjadi kelabu kembali?
Aku menguatkan diriku untuk menghadiri pemakaman Daniel. Seharian aku menangis di atas pusara Daniel, sampai Mbak Ririn datang menghampiriku.
“Ini titipan Daniel, Tha.” Kata Mbak Ririn sambil memberikan sebuah album foto berukuran besar. Mbak Ririn tau aku sedang kalut, jadi dia pergi meninggalkanku sendiri. Tak sengaja aku membuka halaman terakhir album itu, ada tulisan tangan Daniel yang khas. Kata-kata dalam album itu yang seketika menghentikan tangisku dan membuatku sadar bahwa aku harus bangun dari mimpi buruk ini dan melanjutkan hidupku.
“Terimakasih untuk satu tahun yang berkesan ini, Daniel“ kataku tulus.
***
Sampailah aku pada halaman terakhir album ini, kuraba dengan penuh kasih tulisan tangan Daniel. Kubaca dan kucermati setiap kata dalam tulisan itu.
Thaya, mungkin saat kamu melihat dan membaca album ini aku sudah tak ada lagi di dunia ini. Tapi taukah kamu, tujuh belas tahun aku hidup di dunia ini, hanya satu tahun terakhir ini yang berkesan untukku. Satu tahun bersamamu, itu adalah anugerah terindah untukku. Dari saat pertama kali aku melihatmu yang sedang menangis di lorong, aku sudah menduga kalau kita punya nasib yang sama.
Maaf kalau selama ini banyak hal yang aku sembunyikan darimu, tentang sakit yang aku derita, tentang hidupku yang penuh kesengsaraan ini. Saat kamu sedih, ingatlah bahwa masih banyak yang lebih menderita darimu, termasuk aku. Seumur hidupku, aku bahkan tidak tau siapa orang tua kandungku, aku dibuang di panti asuhan. Sampai usia tujuh tahun, aku punya orang tua angkat yang tidak pernah menganggapku ada. Dulu aku pikir, untuk apa aku hidup jika tidak ada yang mengharapkanku hidup. Sampai akhirnya aku mengenalmu, dan aku tau tujuan hidupku yang singkat ini. Tuhan menciptakan aku di dunia ini untuk meyakinkanmu bahwa sahabat sejati itu dan tak sekedar dalam anganmu saja.
Tugasku di dunia ini sudah selesai Thaya, kamu sudah percaya akan adanya makhluk yang bernama sahabat. Dan kini kamu juga sudah menemukan kembali kebahagiaanmu bersama keluarga tercintamu. Aku pernah berkata padamu “Menangislah hanya jika aku ada di sampingmu”, dan sekarang aku sudah tidak ada di sampingmu lagi untuk selamanya. Jadi permintaan terakhirku Thaya, jangan pernah menangis lagi, aku yakin kamu gadis yang kuat. Teruslah tersenyum Thaya, karena senyummu adalah kebahagiaan terbesar dalam hidupku.
Sahabat dalam Anganmu,
Daniel Wira Atmadja
“Daniel, terimakasih telah hadir dalam hidupku dan mengubah duniaku, walau hanya satu tahun. Kini aku menjadi Nathaya yang kuat dan ceria. Aku bisa melewati hari-hari terberat dalam hidupku setelah kepergianmu. Hebat kan ? Aku akan terus hidup untuk orang tuaku. Sampai kapanpun, kamu akan tetap jadi sahabatku, Daniel. Sahabat dalam anganku, selalu di hatiku,” kataku dalam hati sembari tersenyum memandang langit malam.
###

Give Me The Third Chance


        Tak perlu waktu lama bagiku untuk jatuh cinta padanya, namun seabad pun rasanya tak cukup untuk melupakan dia. Aku berharap punya alasan untuk mencintainya, agar saat alasan itu hilang, cintaku juga akan melebur bersamanya. Aku mencintai dia, dulu hingga saat ini. Namun aku berharap dia tidak benar-benar mencintaiku, karena aku tidak mau dia merasakan sakit yang aku derita ini. Cukup aku yang mencintai, cukup aku yang tersakiti, dan cukup aku yang tau semua ini.
                Dua tahun kami terpisahkan oleh jarak, tapi rasa ini masih tetap seperti dulu, masih tetap bergelora di hatiku. Bagaimana kabarnya ? seperti apa dia sekarang ? sudahkah dia temukan bahagianya ? semua itu hanya menjadi tanda tanya untukku. Aku hanya bisa berdiam diri, menunggu sebuah keajaiban yang mempertemukan dua hati ini kembali, walau hanya satu jam saja. Aku hanya ingin melihatnya, mendengar suaranya, meskipun dia tak melihatku dan melupakan diriku.
                “Woii, ngelamun aja ! mikirin Vino ya ?” kata Fanya membuyarkan lamunanku.
                “Hari ini, dua tahun lalu, aku telah membunuh hati seseorang.” Jawabku dengan pandangan menerawang jauh.
        $3B        “Maksud kamu Sebastian, Rin ?” tanya Fanya. Aku hanya mengangguk.
                “Udahlah Arindra, dia itu masa lalu, kamu sekarang punya Vino, masa depan kamu.” Fanya selalu berkata demikian setiap aku menyebut nama Tian. Dia memang tak pernah mengijinkan aku untuk mengingat nama itu lagi.
                “Vino itu sahabatku, Fan. Selamanya juga gitu, gak bakal ada yang berubah !” aku selalu tidak suka jika dia menganggap Vino itu kekasihku.
                “Rin, kamu tau nggak sih, selama ini Vino suka sama kamu. Tapi kamu nggak pernah peduli dengan perasaannya, yang kamu ingat cuma Tian, Tian, dan Tian. Kamu nggak pernah tau gimana sakitnya dia kalau kamu lagi curhat tentang Tian. Tapi dia diem aja, dia sabar dengerin kamu, karena dia cuma pengen liat kamu bahagia. Kurang apa sih Vino ? dia itu lebih segalanya dari Tian. Yang pasti, dia lebih dewasa dari Tian !” cecar Fanya dengan jengkel.
                Memang semua yang dikatakan Fanya benar. Tapi sekali lagi, cintaku pada Tian tak punya alasan, karena itu cintaku masih bertahan hingga saat ini entah sampai  kapan. Selain itu penyesalan dan perasaan bersalahku pada Tian juga membuatku tak bisa memaafkan diriku sendiri apalagi untuk membuka  hati kepada lelaki lain, sekalipun untuk Vino, aku belum bisa.
                Mungkin bagi Tian aku adalah perempuan jahat yang suka mempermainkan perasaan laki-laki. Tapi sebenarnya, aku punya alasan jelas untuk melakukan semua itu. Dia tidak tahu betapa tersiksanya aku untuk berpura-pura tak mencintainya, pura-pura berpacaran dengan temanku, dan melihat dia bersama adikku. Sungguh hari-hari itu sangat menguras air mata.
***
                Sebastian Surya Adikara, dia setahun lebih muda dariku. Dia teman adikku, Arini dan adikku menyukainya. Saat itu, Tian kelas 3 Smp, dia sedang mengerjakan tugas kelompok dengan Arin di rumah. Itu adalah kali pertama aku bertemu Tian, dan aku sudah merasa kalau ada sesuatu yang berbeda dengannya. Kami baru mulai mengenal saat kedua kalinya dia datang ke rumah, Arin mengenalkan dia padaku. Mulai dari perkenalan itu, dia sering datang ke rumah dengan alasan belajar bersama dengan Arin. Entah dari mana Tian tahu nomor ponselku, dan dia mulai sering mengirim pesan-pesan singkat padaku. Semakin lama kami semakin dekat. Sampai Arin bercerita padaku.
                “Mbak, menurut mbak Tian anaknya gimana ?” tanya Arin yang tiba-tiba masuk kamarku.
                “biasa aja,” jawabku singkat.
                “dia itu cowok terkeren di sekolah lho mbak. Udah cakep, pinter, baik, cool, kapten basket pula !” mata Arin terlihat berbinar saat dia menceritakan tentang Tian.
                Aku merasa bersalah sekali pada Arin, selama ini dia tidak tahu kedekatanku dengan Tian. Aku tidak mungkin berebut laki-laki dengan adik kandungku sendiri. Apalagi baru pertama kali ini aku melihat Arin begitu tertarik dengan laki-laki. Tapi selama ini aku juga belum pernah jatuh cinta, dan sekalinya jatuh cinta kenapa harus dengan orang yang sama dengan yang disukai adikku.
                “Rindra, would you be my girlfriend ?” tepat dua tahun yang lalu pertanyaan itu seperti buah simalakama untukku.
Aku benar-benar galau dan dilema saat itu. Di satu sisi, aku tidak mungkin menyakiti hati adikku, tapi di sisi lain,jika aku menolak Tian, aku akan melukai hatinya dan hatiku sendiri. Fanya memintaku untuk jangan melukai perasaan adikku, artinya aku harus menolak dan mengubur cintaku dalam-dalam pada Tian. Vino menyuruhku untuk mendengarkan hati kecilku. Dan akhirnya ide gila itu terbesit di pikiranku, aku akan pura-pura berpacaran dengan Putra, teman sekelasku. Aku pikir dengan sedikit melukai hati Tian, dia akan benci padaku dan segera melupakanku. Dengan demikian, rasa sakit hatinya akan segera hilang dan adikku tidak akan terluka.
“Sorry,aku udah punya pacar, Yan.” Kata-kata itu begitu saja meluncur dari mulutku setelah satu minggu Tian menyatakan perasaannya padaku.
Hati Tian benar-benar hancur saat itu$2C jauh lebih dari yang kuduga. Aku pikir dia cuma anak kecil yang sedang belajar mencintai, dan dia tidak tulus mencintaiku, dia juga tak akan sakit hati sampai seperti itu. Tapi aku salah besar, Tian benar-benar mencintaiku, sangat mencintaiku, dan dia terluka karena kebodohanku.
“Mbak, Tian itu sekarang beda banget deh. Dia jadi pendiem tapi emosian gitu. Kenapa ya Mbak ?” Arin, itu semua karena Mbak. Mbak yang udah menghancurkan hati Tian, mbak yang sudah membunuh hatinya.
Dan hal yang terduga terjadi, Tian membalas dendamnya padaku dengan berpacaran dengan Arin. Aku tidak akan marah kalau dia berpacaran dengan Arin karena tulus mencintainya, tapi kalau dia hanya berniat mempermainkan Arin untuk balas dendam, aku tidak rela. Ada perasaan cemburu juga saat dia bersama wanita lain, apalagi adikku sendiri. Akhirnya hari itu aku nekat menemui Tian.
“Kalau kamu memacari adikku hanya untuk membalaskan dendamu padaku, aku mohon jangan. Hentikan semuanya. Ini semua kesalahanku, harusnya aku menerima semua akibatnya, bukan Arin, jangan libatkan dia !” kataku pada Tian dengan sekuat tenaga menahan air mata, ada rasa rindu yang tiba-tiba menyeruap di hatiku. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya, dan sekarang dia menjadi berantakan.
“Aku hanya sedang berusaha melupakanmu. Tolong  jelaskan kenapa kamu melakukan semua itu padaku ? apa kamu benar-benar tidak memiliki perasaan apa pun untukku ?”tanya Tian dengan ekspresi yang tak bisa kuartikan.
Aku mencintaimu Tian, sangat-sangat mencintaimu. Kamu cinta pertamaku. Meskipun kamu lebih muda dariku, meskipun banyak kekurangmu, namun di mataku kamu begitu sempurna. Kata-kata itu hanya bisa berkecamuk dalam benakku tanpa mampu kuungkapkan dalam lisanku.
 “Tidak, aku tidak pernah mencintaimu. Kamu itu cuma anak kecil yang sangat mudah untuk dipermainkan. Dan jika kamu mau membalasnya, balas saja padaku, jangan pada adikku !” akhirnya jawaban ketus itulah yang keluar dari mulutku. Aku segera berlari meninggalnya karena air mataku sudah tak terbendung lagi. Aku tahu, kata-kata itu pasti sangat menyakitkan untuk Tian. Tapi sebenarnya bukan hanya Tian yang sakit, hatiku juga sangat sakit setelah mengucapkannya.
Setelah pertemuan singkat itu, aku tak pernah bertemu dan berhubungan lewat sms maupun telpon lagi dengan Tian, hingga saat ini. Tak lama setelah itu, dia juga memutuskan Arin, dengan alasan akan melanjutkan Sma-nya di Jogja, dan tidak bisa melanjutkan hubungan jarak jauh. Arin tidak terlalu bersedih setelah putus dengan Tian, sampai sekarang dia juga tidak tau hubunganku yang sebenarnya dengan Tian.
***
Aku rasa sudah saatnya aku membuka diri untuk Vino. Dia yang selalu ada untukku, menemaniku melewati masa-masa sulit setelah aku yang bodoh ini menyakiti hati Tian dan hatiku sendiri. Selama ini Vino selalu setia bersamaku sampai dia tidak pernah dekat dengan perempuan manapun, meskipun banyak yang mendekatinya. Aku yang terlalu egois, memikirkan kesedihanku sendiri sampai aku tidak sadar ada lelaki yang begitu baik dan peduli padaku.
Tuhan memberiku kesempatan kedua untuk kembali belajar mencintai, Dia mengirimkan Vino padaku sebagai pengganti Tian. Vino yang memang jauh lebih baik dan dewasa dari Tian. Banyak alasan yang membuat semua perempuan suka dengan Vino, tapi yang kubutuhkan bukan alasan, aku hanya butuh cintaku untuknya. Tapi jauh di lubuk hatiku, hanya rasa sayang sebagai sahabat yang kurasakan pada Vino. Seperti halnya rasa sayangku pada Fanya.
Aku terus belajar untuk mencintai Vino, dan akhirnya aku mulai menyukainya. Hubungan kami sekarang lebih dari sekedar sahabat. Aku jadi ketergantungan padanya, selalu mengharap kehadirannya, dan selalu menunggu pesan darinya.  Dia jadi berarti untukku. Dan aku telah memberikan harapan lebih padanya.
Bip bip..
Sebuah pesan dari nomor tak dikenal masuk ke ponselku.
-Aku tunggu di depan taman dekat rumahmu sore ini jam 3.
-Siapa ? balasku, namun tak ada balasan lagi dari orang itu.
Aku menyampaikan hal itu pada Fanya dan Vino, mereka menyuruhku untuk menemui orang itu. Vino yang akan menemaniku, karena Fanya ada les sore nanti. Aku sangat penasaran, perasaanku juga tidak enak. Bolak-balik aku melihat jam tanganku. Sekolah berakhir pukul 14.00, masih ada waktu satu jam untukku menunggu. Vino mengajakku jalan-jalan terlebih dahulu. Dia memboncengku dengan motor maticnya, entah kenapa saat bersama Vino aku selalu merasa aman dan bahagia, namun jantungku juga bedebar tak karuan. Mungkinkah aku benar-benar jatuh cinta pada sahabatku ini.
 Pukul 15.00, waktunya tiba. Aku dan Vino segera menuju ke taman setelah jalan-jalan bersama. Aku meminta Vino untuk menunggu di motor saja. Aku harus berulang kali meyakinkannya, karena dia bersikukuh untuk menemaniku, takut terjadi sesuatu padaku. Setelah dengan susah payah membujuknya, akhirnya dengan berat hati dia mengijinkanku pergi sendiri.
Di taman, aku melihat seorang laki-laki bertubuh jangkung dengan rambut cepak dan berkulit putih bersih sedang memunggungiku, entah apa yang sedang dia amati. Dia mengenakan jaket putih dan celana jeans hitam. Sepertinya aku pernah melihat sosok itu. Aku semakin penasaran, dan segera mendekatinya.
“Maaf,apakah kamu yang mengirim sms ke saya tadi ?” tanyaku gugup.
Laki-laki itu menoleh, dan hal yang sangat tak terduga. Dulu, sebelum aku memberi harapan pada Vino, aku sangat ingin bertemu dengan orang ini lagi, walau satu jam saja, walau ia tak melihatku dan sudah melupakanku. Tapi sekarang dia adalah orang yang paling tak ingin aku temui, karena pasti akan membuat aku kembali ragu pada perasaanku terhadap Vino dan akhirnya akan melukai perasaan Vino.
“Hai, Arindra !” sapa lelaki itu dengan senyum manis yang masih melelehkan hatiku.
“Emmm, hai juga Tian. Ka.. kamu kok bisa ada disini ?” tanyaku yang kentara sekali canggung.
“Sekolahku lagi libur, jadi aku liburan ke Malang untuk beberapa waktu.” Jawab Tian tanpa mengurangi kadar senyumnya.
Aku mencoba untuk bersikap biasa, meskipun pikiranku berkecamuk hebat. Kami mulai mengobrol apa saja yang sekiranya tidak menyinggung yang lalu. Tian sudah berubah, dia sekarang lebih dewasa, menyenangkan, dan … keren, ku akui itu.
“Lama a..” kalimat Vino terhenti saat melihat orang yang duduk di sebelahku menoleh ke arahnya.
“Eh, maaf ya Vin. Kenalin ini Tian, temennya Arin.” Kataku pada Vino yang masih memperhatikan Tian. Sebenarnya Vino sudah tau kalo itu Tian yang dulu sering aku tangisi, tapi nggak mungkin aku bicara seperti itu di depan Tian. Lagian Tian juga nggak tau kalau itu Vino sahabatku. Tian terlihat kaget dengan kalimatku tadi, mungkin saat aku mengatakan “teman Arin”.
“Hai, kenalin aku Tian !” sapa Tian sembari mengulurkan tangannya.
“ Vino” jawab Vino singkat sambil menjabat tangan Tian dengan senyum dipaksakan.
Aku segera berpamitan pada Tian, aku tidak mau berlama-lama dengannya lalu kembali mengungkit kenangan lama. Ternyata rasa itu masih ada, aku masih mencintai Tian. Tapi aku tidak mau terlalu berharap untuk bisa kembali dengannya.
Vino membisu selama mengantarku pulang. Apa yang salah dengannya ? kenapa dia jadi aneh ? Apa dia cemburu melihat aku dan Tian ? Tepat seperti dugaanku, aku benar-benar dilema. Aku masih mencintai Tian, lalu bagaimana dengan Vino ?
***
                Semenjak pertemuanku dengan Tian, dia mulai sering menghubungiku lagi, kami juga sering jalan bersama.  Tapi sikap Vino juga aneh, dia seperti jaga jarak denganku, dia jadi lebih sering berkumpul dengan gengnya. Setiap aku bertanya pada Vino, dia selalu bilang tidak ada apa-apa, Fanya juga tidak tahu ada apa dengan Vino. Aku jadi serba salah.
                “Vin, kamu kenapa sih ? ngomong dong kalau aku punya salah, jangan diem terus kayak gini !” kataku pada Vino saat di perpustakaan. Tapi Vino masih tetap membisu.
                “VIN !,” dengan tidak sabar aku membentaknya, diikuti oleh omelan penjaga perpustakaan dan menjadi perhatian para siswa lain.
                Vino segera menyeretku keluar perpustakaan menuju ke lorong sebelah perpustakaan.
                “Aku suka sama kamu, Rin. Aku sayang sama kamu, dari dulu sejak pertama kali kita kenal. Dan aku pikir kamu juga mencintaiku setelah Tian pergi dari hidup kamu. Tapi sekarang Tian kembali lagi, dan aku tau kamu masih sangat mencintainya. Aku bisa lihat itu dari mata kamu. Dan aku berusaha ngejauhin kamu untuk membunuh rasa cintaku ini, sudah terlalu lama aku tersiksa dengan cinta tak berbalas ini. Dan aku kecewa karena kamu telah memberikan harapan palsu padaku, kamu udah mempermainkan perasaanku, “ kalimat itu seperti mencekik leherku, suaraku tercekat, dan aku tak mampu berkata apa-apa, sampai Vino pergi meninggalkanku sendiri.
                Kini aku benar-benar kehilangan Vino, sahabatku. Dia telah menjauh dariku, seperti tak mengenalku lagi. Berulang kali aku mencoba untuk menjelaskan, tapi dia selalu menghindar. Aku tak tahu harus berbuat apa lagi. Aku berharap kami bisa kembali bersahabat seperti dulu. Tapi sepertinya tak mungkin lagi, dia membenciku. Memang salahku telah mempermainkan hatinya hanya untuk melupakan Tian.
                Tian sekarang juga jarang sekali menghubungiku lagi. Dia sudah kembali ke Jogja beberapa hari yang lalu. Aku mencoba menelponnya, karena tak kunjung ada kabar darinya.
                “Halo !” terdengar suara perempuan dari seberang sana.
                “Ini bener nomornya Tian kan ?” tanyaku memastikan aku tidak salah telpon.
                “Iya, kamu siapa ya ?” perempuan itu balik bertanya. Aku mulai panik, siapa wanita itu ?
                “Ini Rindra, temennya Tian di Malang. Maaf, saya sedang berbicara dengan siapa ya ?” tanyaku lagi.
                “Ini Luna, pacarnya Tian,” segera kutekan tombol off. Langit seperti runtuh, tubuhku terasa kebas, aku*berusaha mencerna apa yang baru saja aku dengar. Tian punya pacar ? kenapa dia tidak pernah mengatakannya padaku ? kenapa selama ini dia memberi harapan lagi padaku ? apa maksudnya semua ini ?
                Ternyata Tian hanya ingin membalas dendam padaku. Aku pikir dia masih mencintaiku seperti aku mencintainya. Tapi rasa cintanya kini telah berubah menjadi kebencian yang mendalam. Aku memang pantas untuk mendapatkan semua ini, aku tahu betapa sakitnya hati Tian karena perlakuanku dulu. Sampai saat ini, dia tidak tahu alasan aku melakukannya, dia tidak tahu bahwa adikku benar-benar mencintainya, jadi sudah sewajarnya kalau dia membenciku.
                Penyesalan mendalam sedang menggelayuti hatiku, aku telah melepaskan Vino yang begitu sempurna untuk cinta lama yang ternyata hanya mempermainkanku saja. Aku telah salah mengambil keputusan. Kini tak ada lagi cinta, tak ada lagi persahabatan, tak ada lagi penantian. Aku telah kehilangan dua orang yang berarti dalam hidupku, cinta dan sahabat.
                Ohh God, please give me the third chance, to love the true person !